TEENLit Terror
(Nur Rahmat)
-WANDA-
“Kriiiiinnnggg!!!!”
Bel panjang telah berbunyi, pertanda hari ini kelas telah berakhir. Berbeda
dengan siswa-siswi lain yang sibuk mengemas peralatan sekolah mereka dan satu
persatu meninggalkan kelas, Vee malah serius membaca buku bersampul hitam itu
dengan ekspresi berdigik ketakutan. Siswi berkaca mata bundal itu kian serius
membaca buku horror yang baru ia dapatkan di toko buku kemarin sore. Sesekali
berdigik dan membuka lembar demi lembar dari buku itu.
“HEY!!!” suara itu membuat Vee
terkejut. “Kelas sudah selesai, ayo kita pulang!” ajak Kadek siswi hitam manis
keturunan bali sekaligus sahabatnya Vee. Vee menatapnya.
“Bentar.. Kenapa terburu-buru
sekali” jawab Vee dan kembali melanjutkan apa yang ia baca.
“Heyy!” ucap Kadek sembari memegang
bahu Vee, secara reflek Vee menatapnya kebelakang, kebetulan bangku Kadek
berada tepat di belakang bangku Vee. “Kau ingat tempat yang aku pernah bilang
padamu” lanjutnya dengan senyum aneh. Vee mengangguk pertanda ia ingat. “Aku
menemukannya” lanjutnya lagi dengan senyum yang lebih aneh, senyum yang
meledak-ledak. “Mau pergi??” ajak Kadek. Vee balik tersenyum sama anehnya dan
mengangguk “Tentu!”.
Mereka berjalan menuju halaman
belakang sekolah, tempat yang sepi dan terlihat angker. Ada sebuah tempat yang
ingin Kadek tunjukkan kepada Vee.
“Mereka bilang yang mengeksekusi
juga agak sedikit gila.. kau tahu..” ungkap Kadek sambil terus berjalan dan
sesekali menatap layar ponsel androidnya.
“Agak.. gila? Dan dia menjadi
pembunuh berantai??” tanya Vee.
“Iya..” Jawab Kadek tanpa
mengalihkan pandangannya dari layar ponselnya “Disini!! Disini!! Tempat
terjadinya eksekusi yang aku temukan.” Kadek mengangkat ponselnya dan menatap
gambar yang ada didalamnya kemudian mensejajarkannya dengan pohon beringin yang
ada didepan mereka “Dan berakhir sama dengan pohon beringin itu. Mereka menatap
pohon beringin yang ada didepan mereka.
Vee mengambil ponsel Kadek dan
menatapnya dengan seksama. Gambar jadul dengan pohon beringin yang ada
didalamnya. Didepan pohon beringin itu duduk didepannya dan seorang lagi tidur
terlentang, siap untuk di eksekusi. Vee kemudian mencocokkan gambar itu dengan
pohon yang ada didepannya.
“Ini mirip banget!!” kata Vee penuh
dengan rasa yang terkejut
“Memang iya!! Aku yakin!!” timpal
Kadek.
“Jadi rumor tentang sekolah kita
yang dijadikan tempat eksekusi itu....”
“Disinilah tempatnya !” sambung
Kadek.
“Bulu kudukku berdiri..!” ungkap
Vee, dengan senyum.
“Ayo kita ambil beberapa foto..”
ajak Kadek.
Kadek berdiri membelakangi pohon
beringin itu dan Vee yang ada didepannya siap memotret.
“Siap? 1! 2! 3!”
Kadek berpose seakan melaukan
gerakan tarian pengeksekusi sebelum mengeksuki sang korban, dia mengepalkan
tangannya seolah-olah sedang memegang golok.
Sekarang mereka berdua tampak
berfoto dengan pose Kadek yang seperti sedang memenggal kepala Vee.
Kadek dan Vee menjadi teman dekat
sejak mereka mengetahu satu sama lain yang sangat tertarik akan dunia misteri
dan semua itu tak bisa dijelaskan. Hobi mereka adalah membaca cerita hantu dan
sejarah sekolahnya. Kemudian mereka mencari tahu tentang bagaimana sekolah
mereka jadi bekas tempat eksekusi. Ini membuat mereka semangat.
***WANDA***
“Apa kau sudah menyelesaikan laporan
bahasa inggris??” tanya Vee kepada Kadek. Mereka berdua berjalan disebuah
koridor dibagian halaman belakang sekolah. Koridor itu penuh barang – barang
tua seperti meja, papan tulis bahkan lemari.
“Tunggu! Ini buat besok?” Kadek
balik bertanya dan Vee mengangguk. “Wah! Aku benar – benar lupa!! Aku akan
keatas dan mengambilnya sebentar.. Tunggu yah!” kata Kadek. Vee lagi – lagi
mengangguk kali ini diiringi kata Oke!
Kadek berlari ke kelasnya yang ada
dilantai 2 sekolah meninggalkan Vee yang sepertinya akan tetap menunggunya. Vee
yang berdiri tepat dibagian depan sebuah ruangan tua yang pintunya terbuat dari
besi berkarat yang bisa digerai menatap pintu itu lekat – lekat. Pintu terlihat
sangat angker. Vee segera mengambil ponsel dari sakunya dan mengambil gambar.
Vee tersenyum aneh.
***WANDA***
Suara binatang – binatang malam saling bersahutan, angin yang bertiup
mampu menggoyangkan gorden kamar Vee yang berwarna putih itu. Rumah Vee hampir
keseluruhannya berwarna putih dengan desain semi modern. Kamar Vee juga sama
seperti kamar – kamar anak gadis lainnya. Dindingnya dihiasi beberapa lukisan.
Meja belajar, dan tentu saja tumpukan – tumpukan buku. Hanya saja tumpukan buku
itu lebih banyak yang bernuansa horror dari Komik sampai majalah horror dari
pada buku – buku tentang pelajaran. Meski Vee juga termasuk siswi berprestasi
dikelasnya.
Kadek malam ini singgah dirumah Vee,
membantu Vee mengerjakan laporan bahasa inggris yang harus mereka kumpulkan
besok pagi. Vee bertugas menyusun materi dan Kadek yang mencari materi dari
internet. Kadek menunggu Vee menyusun materi hingga selesai dan sesekali
membuka website misteri sebagai hiburan.
“Hey! Vee! Vee! Baca ini! Inikan
tentang sekolah kita?” Kadek menemukan sesuatu yang menarik didalam website
yang ia buka. Mendengar itu Vee segera menaruh bahan – bahan laporannya ke meja
kecil yang ada disebelah kasur itu. Melihat reaksi Vee, Kadek segera menyeret
laptopnya kedepan Vee. Mereka berdua nampak sangat serius membaca kata demi
kata yang tertulis di website itu.
“SMU ‘MP’ dekat kota Bandung?” Vee
membaca sebaris kalimat yang menyatakan bahwa sekolah yang dimaksud benar –
benar sekolah mereka ‘SMU MERAH PUTIH’.
“Seorang siswi bernama Wanda dibunuh
dengan kejam.. dan pembunuh itu memenggal kepalanya dan disembunyikan dikolong
meja” mata mereka begitu memandang layar komputer lekat – lekat. “Tak ada satu
orang pun yang pernah menemukan kepalanya sejak saat itu” lanjut Kadek.
“Sejak kejadian itu.. jika kamu
menemukan kepala siswi yang mengejutkanmu dikolom meja.. kau akan terkena
kutukan.. jika kamu tidak bisa menemukan kepalanya sampai dua hari.. kamu akan mati”
jelas Vee. Wajah Kadek seketika menegang dan pucat ketika membacanya. “Ini
sedikit dramatis.. bagaimana menurutmu?” tanya Vee. Kadek bahkan tidak menjawab
pertanyaan Vee, malah membaca artikel itu dengan seksama. Kadek menggigit bibir
bawahnya dan keringat mengucur dikeningnya.
“Hey! Ada apa?” tanya Vee melihat
reaksi sahabatnya itu.
“Eemm... ketika aku mengambil
catatanku dikelas... kemudian... aku mendengar suara aneh. Aku datang dan
mendekati meja itu.. meja itu jelas – jelas bergoyang sendiri... aku penasaran
dan lebih mendekat lagi... lalu aku perlahan menengok kearah kolong meja
dan...” belum sempat Kadek menjelaskan kejadian sore tadi pintu tiba – tiba
terbuka dan Vee yang sejak tadi mendengarkan dengan serius menjadi terkejut.
“Apa yang sedang kalian lakukan? Ini
sudah jam 9 malam. Kau mau menginap disini Kadek atau mau pulang?” tanya ibu
Vee dengan senyum. Kadek membalas tersenyum sementara Vee masih dengan wajah
kagetnya.
“Aku mau pulang sekarang saja..”
“Aku akan mengantarmu kedepan” tawar
Vee dan Kadek mengangguk. Vee dan Kadek pun bangkit dari kasur Vee. Mereka
berjalan menuruni tangga diruang tamu ayah Vee duduk disofa dengan surat kabar
yang setiap malam dibacanya.
“Selamat malam paman..”
“Selamat malam.. hati – hati dijalan
ya?”
“Iya..”
Kadek berjalan kehalaman rumah Vee
dan segera menyalakan mesin motor maticnya. Kadek menoleh kebelakang dan
melambaikan tangan pada Vee yang masih berdiri didepan pintu rumahnya.
Vee kembali kekamarnya dan melihat
laptop itu masih menampilkan artikel mitos tentang sekolahnya, Vee segera
mematikan laptopnya.
***WANDA***
Vee berjalan masuk kekelas. Hari ini
ia bangun agak siang, terlihat dari banyaknya siswa – siswi lain yang telah
datang, dan bangku yang kosong hanya bangkunya dan bangku dibelakangnya lagi.
Bangku itu milik Kadek.
“Hey! Hey! Apa Kadek belum datang?”
tanya Vee kepada Dania teman sebangkunya.
“Tidak.. aku belum melihatnya pagi
ini..” jawab Dania.
Vee mengambil ponselnya dan segera
menghubungi Kadek. Ekspresi cemas tergurat diwajahnya. Ponsel itu berdering
tanda bahwa panggilannya masuk namun belum dijawab. Sesekali Vee memperhatikan
bagian luar kelas, berharap ia akan melihat Kadek. Tak ada jawaban dan Kadek
juga tidak datang.
Vee menyalin tulisan yang ada di
papan tulis ke bukunya dan sesekali memperhatikan guru matematika itu
menjelaskan pelajaran linear. Vee merasakan bangku belakang menubruk bangkunya
membuatnya sedikit terganggu, tapi Vee hanya diam dan kembali memperhatikan sang
guru. Bangku itu kembali menubruk bangku Vee namun kali ini lebih kencang. Vee
kembali diam dan bangku itu kembali menubruk dengan intensitas lebih cepat dan
semakin sering.
“Berhenti menggoyangkan mejanya...”
gertak Vee dengan menghadap ke belakang. Ekspresinya ciut tatkal menemukan
kenyataan bahwa tak ada seorangpun yang duduk disana dan semua siswa sedang
sibuk menulis. Vee terlihat bingung dan merasa aneh. Dia kembali lanjut belajar
meski dengan pikiran yang melayang.
‘12.30’ bel berbunyi, hampir semua
siswa meninggalkan kelas sementara Vee masih mengemas peralatannya. Guru fisika
sekaligus kepala sekolah mendekat kearah Vee.
“Veriya Marwan” guru paruh baya itu
menyebut nama lengkap Vee, dengan segera Vee mendongak kearah kepala sekolah.
“Kadek Mahadewi tidak masuk hari ini?” lanjutnya.
“Iya, pak”
“Apa dia sakit?”
“Aku kurang tahu. Karena kemarin dia
baik – baik saja.” Jawab Vee.
“Baiklah.. kalau begitu tolong
beritahu dia untuk mengirim surat keterangan”
“Iya, pak”
Vee berdiri dan mengambil ponselnya.
Dia menghubungi Kadek sekali lagi. Ponselnya kembali berdering.
“Halo?” suara Kadek terdengar dari
ponsel Vee.
“Hey! Apa kau baik – baik saja? Aku
menelponmu dari tadi.. tapi kau tidak pernah menjawabnya!” tanya Vee dengan
antusias dan sedikit kesal.
“Kamu ini kenapa? Aku hanya sedikit
sakit jadi aku ke dokter dan tidur dari tadi-” Vee mendengarkan Kadek sembari
mengambil bukunya dari meja namun pulpen yang ada didalam buku itu tidak
sengaja terjatuh kelantai. “Aku bangun dan melihat semua panggilan tak terjawab
darimu, itu sedikit mengerikan..”
“Oh.. syukurlah kalau kau tidak
kenapa – kenapa..” Vee mengungkapkan rasa leganya, sementara matanya tertuju
pada pulpennya yang jatuh tepat didepan kaki bangkunya. Vee berjongkok dan
memungut pulpennya. Saat ia mengalihkan pandangannya kearah kolong meja betapa
terkejutnya ia saat melihat kepala seorang siswi dengan dagu yang penuh darah dan
berambutnya pendek.
“Kyaaaaaa!!!” Vee berteriak kencang
dan menyipitkan matanya kemudian kepala siswi itu terbuka dan terlihat sedang
menatap Vee dengan wajah yang menakutkan. “AAAHHHrrrggggg!!!!!” Vee berteriak
sejadi – jadinya.
***WANDA***
Keesokan harinya sekolah berlangsung
seperti hari – hari sebelumnya. Siswa – siswi yang sedang makan dikantin,
membaca buku diperpustakaan, semuanya normal. Hal yang sama tidak dirasakan
Vee, ia sendiri di toilet sekolah, masih dengan pikirannya tentang banyak hal.
Vee membasuh wajahnya dengan air
keran. Kemudian mengangkat wajahnya kedepan cermin, melihat wajahnya yang lesu
di cermin yang cukup besar itu. Ia lantas mengingat lagi kejadian kemarin.
Kepala siswi dikolong meja. Teriakannya yang kencang. Teman – teman sekelas
yang datang menenangkan. Semuanya masih ia ingat. Ia kembali menatap wajahnya
di cermin. Vee tersenyum kecut dan menyeka air diwajahnya dan kembali memakai
kacamata bundalnya.
Vee berbalik dan membuka ponselnya.
Ia melihat pesannya yang belum dibalas Kadek. Vee lalu menelpon Kadek, ponsel
berdering lagi, Vee termenung dan dikejutkan dengan suara yang seperti kaca
yang sedang pecah, suara itu tepat dibelakangnya dengan reflek Vee berbalik
kearah cermin. Vee kaget melihat retakan yang ada dicermin, retakan itu
sebelumnya tidak ada, Vee menengok ke sekitar. Hanya ia sendiri yang ada
ditoilet ini.
“Halo?” suara seseorang terdengar
dari balik sana.
“Halo! Apa kau masih sakit? Kenapa
kamu tidak ke sekolah?” tanya Vee dengan penuh kekhawatiran.
“Vee.. ini mamanya Kadek..” suara
orang itu ternyata milik ibu Kadek, suaranya begitu berat dan terdengar sedih.
***WANDA***
“Semuanya.. aku mau mengatakan
sesuatu pada kalian semua..” kepala sekolah berbicara dengan ekspresi datar
didepan murid kelas 11 – 3. Semua siswa terlihat serius, kecuali Vee yang
terlihat menangis terseduh – seduh. “Teman sekelas kalian.. Kadek Mahadewi..
meninggal tadi malam..” semua siswa terlihat kaget, yang ada didekat Vee lantas
menatap iba kepadanya yang masih menangis.
“Apa yang terjadi.. pak?” seorang
siswa laki – laki yang duduk dibelakang bertanya. Namun pasti semua siswa saat
ini mempunyai pertanyaan yang sama.
“Itu adalah sebuah kecelakaan.. dia
tabrakan motor. Dan dia tidak menggunakan helm..” Vee semakin terseduh,
membayangkan betapa mengerikannya kejadian yang menimpa Kadek. Orang – orang di
tempat kejadian mengatakan bahwa kepala dan badannya terpisah. Kepalanya putus
dengan mata yang melotot. Sungguh mengerikan.
“Setelah
kejadian itu.. jika kamu menemukan kepala siswi yang mengejutkanmu dikolom
meja.. kau akan terkena kutukan.. jika kamu tidak bisa menemukan kepalanya
sampai dua hari.. kamu akan mati” kata – kata dari atikel itu dan reaksi
Kadek malam itu selalu terngiang – ngiang di kepala Vee membuatnya semakin sedih sekaligus kesal.
Kenapa ia tidak peka dengan Kadek.
Semua siswa telah pulang, namun
pintu kelas tiba – tiba terbanting dengan keras. Sekonyong – konyong Vee masuk
kedalam kelas dengan ekspresi penuh kemarahan. Ia lantas menuju kearah meja
Kadek, meja dimana ia melihat kepala siswi dikolongnya.
Vee mengubrak – abrik isi kolong
meja itu, dan beralih ke meja disampingnya, berharap ia menemukan apa yang ia
cari. Namun tak ada. Meski begitu Vee tetap mencari ke meja yang lain. Tetap
saja tidak ada. Vee marah dan menendang meja yang ada disekitarnya.
Vee melihat ada sesuatu yang aneh di
meja paling belakang, ia mendekat dan melihat rambut seseorang didalamnya. Ia
mendekat lagi dan kini meja itu bergoyang – goyang dengan sendirinya. Vee jelas
takut, tapi sesuatu yang ia cari kemungkinan besar adalah itu. Vee mendekat
dengan pelan ke meja itu.
“Apa yang kau lakukan disini!?”
suara kepala sekolah mengejutkan Vee.
***WANDA***
“Apa yang sedang kamu cari di meja
itu?” tanya kepala sekolah yang kini duduk didepan Vee.
“Aku hanya ingin mencari sesuatu..”
jawab Vee. Vee ada dikantor kepala sekolah.
“Mencari sesuatu? Apa itu?”
“Aku benar – benar tidak bisa
memberitahukannya..”
“Veriya Marwan.. orang – orang akan
berfikir bahwa kamu akan mencuri sesuatu jika mereka melihatnya..” jelas Kepala
sekolah. “Kamu itu siswi yang berperilaku baik.. dan kamu juga bagus dalam pelajaran..
jadi aku tidak percaya kalau kamu adalah orang yang seperti itu” sambungnya.
Vee hanya tertunduk mendengar kepala sekolah berbicara.
“Aku percaya padamu.. jadi bisakah
kamu ceritakan apa yang akan kamu cari dimeja itu?” tanya kepala sekolah sekali
lagi.
“Pak.. apakah dulu ada seorang siswi
yang bernama Wanda disekolah kita?” Vee balik bertanya. Kepala sekolah itu
terlihat menegang.
“Wanda!? Bukankah itu hanyalah rumor
online?”
“Jadi itu tidak benar?” Vee bertanya
lagi.
“Wanda dulu memang sekolah disini..
dan memang benar dia meninggal disekolah kita.,” Vee memasang ekspresi sedih. “Dia
dulu muridku.. tapi aku tidak percaya pada rumor itu.. itu semua memang
terjadi.. apa kau tahu? Belum pernah ada yang meninggal disekolah kita setelah
kematian Wanda!” jelas kepala sekolah.
“Lalu bagaimana dengan Kadek!?” Vee
bertanya dengan nada sedikit lebih tinggi dari sebelumnya namun masih terdengar
sopan.
“Yang meninpa Kadek adalah
kecelakaan..! kamu tahu itu semua hanyalah masa lalu!” debat kepala sekolah.
Vee mengangguk – ngangguk. “Veriya Marwan.. aku mengerti apa yang kamu
lakukan.. kamu kehilangan teman baikmu.. tapi dengan melakukan ini tidak
membuat semuanya lebih baik.. Kadek tidak ingin kamu menjadi seperti ini..”
kepala sekolah menasehati Vee yang hanya menatapnya dengan tatapan datar. “Ini
sudah terlambat.. aku pikir sekarang kamu harus pulang..!” Kepala sekolah
berdiri dari tempat duduknya dan membereskan barang – barang yang ada
dimejanya.
“Pak... apakah hantu itu nyata?” Vee
bertanya sekali lagi
“Tentu saja.. tapi apakah hantu
Wanda itu nyata? Aku tidak berpikir kalau dia akan balas dendam pada
siapapun..”
***WANDA***
Malam ini Vee termenung sendirian.
Antara rasa sedih karena kematian sahabatnya dan rasa takut yang menghantuinya
tentang kutukan hantu kepala Wanda itu.
“Knock!
Knock! Knock!” suara pintu terketuk dari luar kamar Vee membuyarkan
lamunannya.
“Belum tidur, sayang?” ibu Vee
melangkah masuk ke kamar Vee dan juga ikut duduk di tempat tidur Vee.
“Sebentar lagi, Bu..” jawab Vee. Ibu
Vee tersenyum kemudian menggenggam tangan Vee.
“Vee.. kamu bisa menceritakan padaku
kalau ada masalah.. aku dan ayahmu sangat menghawatirkanmu..” ibu Vee tampak
sangat khawatir dengan sikap Vee beberapa hari terakhir ini.
“Aku baik – baik saja.. terima kasih
bu..”
“Aku bersyukur kalau kamu baik –
baik saja..” kali ini ibu Vee membelai rambut Vee dengan penuh kasih
sayang. Vee memperhatikan wajah ibunya,
senyum ibunya yang tiba – tiba berubah menjadi wajah kaget. Ibu Vee
menyingsingkan rambut Vee kebelakang dan mengangkat wajah Vee.
“Apa yang terjadi dengan lehermu?
Lehermu berdarah..” ibu Vee mendekatkan tangannya kearah leher Vee dan
menyentuh bagian sebelah kanan leher Vee. Sentuhan tangan ibu Vee membuat Vee
leher Vee terasa perih.
Ibu Vee menunjukkan telapak
tangannya yang kini ada darah leher Vee diatasnya, Vee merasa terkejut dan
tidak mengerti dimana ia mendapatkan luka itu. Vee ingin memastikan sendiri dan
mendekatkan tangannya kelehernya sendiri dan benar ada luka seperti goresan
yang cukup dalam.
***WANDA***
Hari ini pelajaran Fisika. Ibu Ros
sedang menjelaskan mengenai materi yang dipelajari. Namun kepala Vee terlalu
dipenuhi banyak pikiran untuk memperhatikan Bu Ros menjelaskan.
“Veriya Marwan..!” Vee segera
menatap Bu Ros yang kini juga menatapnya. “Bisa kedepan dan menyelesaikan soal
ini?” guru itu sejak tadi memperhatikan Vee yang menghiraukannya.
Vee berjalan kedepan dan tepat
didepan papan tulis putih ia berhenti dan meraih spidol hitam yang ada dimeja.
Ia menatap papan tulis putih yang kini berubah menjadi papan tulis hijau khas
jaman awal tahun 2000-an. Vee heran dan kaget. Suara bising sekolahpun
menghilang. Suasana menjadi hening dan menakutkan.
Vee dengan perasaan takut dan juga
penasaran membalikkan wajahnya kearah bangku – bangku siswa secara perlahan. Ia
tidak menemukan seorang siswa pun dan yang ada hanya ruang kelas tua. Pojok
kiri atas papan tulis itu tertulis ‘Jumat, 26 Mei 2000’.
Merasakan kehadiran seseorang
dibelakangnya Vee dengan perlahan berbalik. Seseorang berbaju putih biru dengan
kepala yang buntung. Itu mengerikan. Vee segera mengalihkan pandangannya. Ia
menahan suaranya agar tidak berteriak. Ia kini gemetar dan kaku.
Siswi tanpa kepala itu meraih kapur
putih dan seperti akan menulis sebuah kata.
“T... O... L... O... N... G” Vee
membaca tulisan kapur itu. Dan ia terdiam lagi saat sebuah tangan ia rasakan
akan menyentuh pipinya dari belakang.
“Vee! Kamu mimpi buruk! Kamu tidak
apa – apa?” ibu Vee membelai wajah Vee dan nada suaranya begitu khawatir. Vee
tersentak antara rasa takut dan lega itu hanya mimpi juga rasa bingung karena
mimpi itu terasa begitu nyata. “Kamu berkeringat! Apa kamu baik – baik saja..”
Vee tidak menjawab ibunya yang terus membelai rambut Vee menenangkan Vee.
***WANDA***
Vee membuka kembali artikel itu dari
laptopnya. Ia merasa malam ini ia harus menyelesaikan masalahnya dengan hantu
berkepala buntung itu. Ia kemudian melihat hyperlink tentang misteri kematian
Wanda, ia lantas membuka artikel itu.
Seorang siswi berambut pendek sebahu
ada didalam foto diartikel itu. Itu adalah Wanda.
“Apa yang kau lihat Wanda...?” Vee
menatap lekat – lekat foto Wanda.
“Cara
memainkan papan OUIJA..” Kata kunci itu ia ketikkan di aplikasi browsing di
laptopnya. Setelah melihat beberapa cara Vee akhirnya memutuskan untuk membuat
sendiri papan Ouijanya dengan peralatan yang ada. Kertas karton. Penggaris dan
spidol. Ia mulai membuat papan Ouijanya dimulai dengan menggaris kotak – kotak
sama besar dan menulis huruf kapital secara lengkap. Setelah selesai ia segera
pergi. Berlari ke arah sekolahnya.
Vee masuk kedalam kelas seorang
diri. Dan menaruh papan Ouija kertasnya keatas dimeja dimana ia melihat kepala
Wanda disana.
Vee membakar lilin kemudian
meniupnya. Asap dari lilin itu ia tangkup didalam gelas kaca kecil yang
berfungsi sebagai penggerak. Vee menaruh jari telunjuknya diatas kaca itu. Dan
mulai membaca mantra kuno.
“Aku mengundang roh yang ada
ditempat ini untuk masuk kedalam gelas ini...” Vee berniat memanggil roh Wanda
masuk kedalam gelas. “Jika kamu telah masuk.. tolong pindah ke ‘YA’..” Vee
ingin memastikan bahwa roh Wanda sudah benar – benar disini. Gelas itu dengan
perlahan bergerak kearah kata ‘YA’ yang ada dipapan Ouija. Gelas itu bergerak
sendiri tanpa ada dorongan dari jari telunjuk Vee. Dan dengan sendirinya juga
gelas itu bergerak ketempat sebelumnya.
“Apa kau Wanda?” papan itu bergerak
lagi kearah ‘YA’. Vee menelan ludah karena takut. Namun ia tetap akan
mengajukan pertanyaan selanjutnya.
“Apa yang bisa saya lakukan
untukmu?” kemudian gelas itu bergerak ke arah huruf ‘C.. A.. R.. I.. K.. E..
P.. A.. L.. A..’ secara berurutan. Wanda ingin Vee mencarikan kepalanya.
“Dimana aku bisa menemukan
kepalamu?” gelas itu bergerak lagi, sekerang bergerak ke arah huruf ‘I.. K..
U.. T.. I’. “Ikuti? Apa maksudnya?” Vee bingung dengan petunjuk hantu Wanda.
Angin menghempas pintu sangat
kencang. Pintu itu terbanting. Vee berdiri dengan rasa penuh ketakutan. Vee
sekarang terlihat ingin menangis. Namun ia kembali diam saat mendengar suara
beberapa orang dari luar yang ingin masuk kedalam kelas.
“Kamu tanya terus.. dimana kita
sekarang..” seorang siswi yang mirip Wanda mengoceh kepada teman perempuan yang
berjalan dibelakangnya.
“Awalnya.. aku tidak takut. Tapi
sekarang aku mulai takut” keluh siswi perempuan yang dibelakang Wanda. Vee
seperti tidak terlihat disini, namun ia melihat 3 orang siswa – siswi disini,
Seorang siswi yang mungkin adalah Wanda, seorang siswi lagi berambut panjang
dan satu orang siswa laki – laki.
“Iya! Bagaimana kau tahu kalau tempat
ini adalah tempat kejadiannya?” tanya siswa laki – laki itu pada Wanda.
“Sebenarnya.. aku tidak percaya.
Makanya akau ingin memastikannya” Wanda lalu menaruh papan Ouijanya kelantai
dan duduk bersila saling berhadap – hadapan didepan papan Ouija itu. Vee
melihat kejadian ini hanya diam memperhatikan. Vee tak sengaja menengok kearah
papan tulis dan melihat tanggal yang sama saat ia mimpi ‘Jumat, 26 Mei 2000’.
“Ingat! Kalian tidak boleh mendorong
gelasnya dengan sengaja.. kalian juga tidak boleh berpura – pura. Kau juga
tidak boleh memecahkan gelasnya.. atau rohnya akan merasukimu..” Wanda
menjelaskan peraturan permainan papan Oujia pada kedua temannya. “Apa kalian
siap?”
Wanda dan kedua temannya mulai
membaca mantra kuno yang sama diucapkan Vee tadi. “Kami mengundang roh yang ada
ditempat ini untuk masuk kedalam gelas ini..” Wanda dan teman – temannya
mengucapkannya nyaris bersamaan.
“Apakah sekarang sudah ada roh yang
masuk kedalam gelas?” tanya teman perempuan Wanda yang bernama Luna. Gelas itu
bergerak kearah kata ‘YA’. Mereka saling bertatapan dan tersenyum.
“Apakah anda adalah sang
pengeksekusi seperti yang dibicarakn orang – orang?” giliran Wanda bertanya dan
lagi gelas itu bergerak kearah ‘YA’.
“Siapa nama anda?” tanya Leo teman
laki – laki Wanda. Gelas itu tidak bergerak.
“Kapan anda meninggal?” Kali ini
Wanda lagi yang bertanya, tapi gelas itu tetap tidak bergerak. “Bisakah anda
memberitahu kami.. apa yang bisa kami lakukan untukmu?” Wanda bertanya lagi.
Gelas itu lagi – lagi tidak bergerak.
“Kenapa lama sekali!” keluh Wanda.
Gelas itu bergerak “M.. A.. T.. I..”
gelas itu bergerak secara terus menerus ke arah huruf “MATI!!”. Mereka bertiga
terkejut.
“Heyy!! Apa kalian mendorong
gelasnya??” Wanda tegang. “Ini tidak lucu!” gelas itu masih terus bergerak
“MATI”.
“Aku tidak melakukannya!!” teriak
Luna.
“Aku juga!!”
“Apalagi aku!!” teriak Leo.
“Apakah ini kamu?”
“Aku tidak melakukannya..”
“Hentikan ini tidak lucu!!” mereka
bertiga saling menuduh dan gelas itu masih bergerak.
Cahaya lampu senter menyilaukan mata
mereka. Senter itu datang dari arah pintu.
“Apa yang kalian lakukan?” penjaga
sekolah membuat mereka bubar.
“Huss.. hufft.. anda pak penjaga..”
Wanda menatap penjaga sekolah yang sudah berusia lanjut itu.
“Kalian murid disekolah ini’kan?”
tanya penjaga itu “Ini sudah larut malam? Kenapa masih disini??” tegur penjaga
itu.
“Ahh.. maaf pak. Kami melupakan
sesuatu disini dan kami akan pulang sekarang” Wanda, Luna dan Leo membereskan
papan Ouija mereka dan berdiri.
“Cepatlah!”
Wanda memasukkan papan Ouija kembali
kedalam tas tapi sayang gelasnya terjatuh dan pecah Wanda, Luna dan Leo panik
dan Vee yang menyaksikan juga kaget.
“Jangan sampai terluka ya, nak?”
penjaga itu mendekat kearah Wanda dan Gelas pecah itu.
“Iya” Wanda menunduk dan berniat
memungut pecahan – pecahan gelasnya. Tapi penjaga sekolah tua itu tiba – tiba
tertunduk dan kemudian roboh kelantai.
“Pak! Pak! Bapak tidak apa – apa?”
tanya Wanda bingung melihat pak penjaga itu kini terlentang diatas lantai dan
kejang – kejang. “Apa yang terjadi padanya?” tanya Wanda kepada Luna dan Leo
yang kini berdiri didepan pintu.
Penjaga itu sudah tenang namun masih
tergeletak, dan perlahan berdiri dan meraih sakunya. Penjaga itu mengambil
pisau lipat dari tangannya. Wanda yang melihat itu mulai takut. Apalagi saat
penjaga itu membelai pisaunya dengan tangannya.
Penjaga itu menengok kearah Wanda
dengan perlahan dan pisau lipat yang ada ditangannya kini menghunus ke arah
depan. Wanda yang melihat itu semakin takut saja. Dan dengan tiba – tiba
penjaga itu menusuk bahu Wanda. Vee yang melihatnya berteriak.
Wanda ditarik dan kepalanya dibuat
menempel ke meja dan penjaga itu mulai menusuk leher Wanda. Luna dan Leo sudah
kabur dan Vee semakin histeris. Penjaga itu menusuk leher Wanda lagi dan lagi
hingga Wanda mungkin sudah meninggal.
Penjaga itu kemduian menggorok leher
Wanda sampai putus. Tubuh Wanda terjatuh sementara kepalanya ada ditangan
penjaga yang kerasukan roh pengeksekusi itu. Penjaga itu berjalan keluar kelas.
Vee menangis histeris sendirian dan menatap penjaga itu berlalu dengan menarik
kepala Wanda.
Tersisa Vee yang berlutut dan Wanda
tanpa kepala yang tergeletak di ruang kelas. Tangan Wanda bergerak dan seperti
akan bangkit, darah sudah memenuhi seluruh seragam putihnya. Wanda bangkit dan
berdiri tubuhnya menghadap Vee dan jarinya menunjuk kearah luar. Mengisyaratkan
untuk Vee mengejar Penjaga itu. Vee yang sudah mengerti berdiri dan berlari
keluar kelas. Dan berlari mengikuti Penjaga itu yang membawa kepala Wanda.
***WANDA***
PART 1 SELESAI