Sabtu, 03 September 2016

Wanda



TEENLit Terror
(Nur Rahmat)
-WANDA-
            Kriiiiinnnggg!!!!” Bel panjang telah berbunyi, pertanda hari ini kelas telah berakhir. Berbeda dengan siswa-siswi lain yang sibuk mengemas peralatan sekolah mereka dan satu persatu meninggalkan kelas, Vee malah serius membaca buku bersampul hitam itu dengan ekspresi berdigik ketakutan. Siswi berkaca mata bundal itu kian serius membaca buku horror yang baru ia dapatkan di toko buku kemarin sore. Sesekali berdigik dan membuka lembar demi lembar dari buku itu.
            “HEY!!!” suara itu membuat Vee terkejut. “Kelas sudah selesai, ayo kita pulang!” ajak Kadek siswi hitam manis keturunan bali sekaligus sahabatnya Vee. Vee menatapnya.
            “Bentar.. Kenapa terburu-buru sekali” jawab Vee dan kembali melanjutkan apa yang ia baca.
            “Heyy!” ucap Kadek sembari memegang bahu Vee, secara reflek Vee menatapnya kebelakang, kebetulan bangku Kadek berada tepat di belakang bangku Vee. “Kau ingat tempat yang aku pernah bilang padamu” lanjutnya dengan senyum aneh. Vee mengangguk pertanda ia ingat. “Aku menemukannya” lanjutnya lagi dengan senyum yang lebih aneh, senyum yang meledak-ledak. “Mau pergi??” ajak Kadek. Vee balik tersenyum sama anehnya dan mengangguk “Tentu!”.
            Mereka berjalan menuju halaman belakang sekolah, tempat yang sepi dan terlihat angker. Ada sebuah tempat yang ingin Kadek tunjukkan kepada Vee.
            “Mereka bilang yang mengeksekusi juga agak sedikit gila.. kau tahu..” ungkap Kadek sambil terus berjalan dan sesekali menatap layar ponsel androidnya.
            “Agak.. gila? Dan dia menjadi pembunuh berantai??” tanya Vee.
            “Iya..” Jawab Kadek tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponselnya “Disini!! Disini!! Tempat terjadinya eksekusi yang aku temukan.” Kadek mengangkat ponselnya dan menatap gambar yang ada didalamnya kemudian mensejajarkannya dengan pohon beringin yang ada didepan mereka “Dan berakhir sama dengan pohon beringin itu. Mereka menatap pohon beringin yang ada didepan mereka.
            Vee mengambil ponsel Kadek dan menatapnya dengan seksama. Gambar jadul dengan pohon beringin yang ada didalamnya. Didepan pohon beringin itu duduk didepannya dan seorang lagi tidur terlentang, siap untuk di eksekusi. Vee kemudian mencocokkan gambar itu dengan pohon yang ada didepannya.
            “Ini mirip banget!!” kata Vee penuh dengan rasa yang terkejut
            “Memang iya!! Aku yakin!!” timpal Kadek.
            “Jadi rumor tentang sekolah kita yang dijadikan tempat eksekusi itu....”
            “Disinilah tempatnya !” sambung Kadek.
            “Bulu kudukku berdiri..!” ungkap Vee, dengan senyum.
            “Ayo kita ambil beberapa foto..” ajak Kadek.
            Kadek berdiri membelakangi pohon beringin itu dan Vee yang ada didepannya siap memotret.
            “Siap? 1! 2! 3!”
            Kadek berpose seakan melaukan gerakan tarian pengeksekusi sebelum mengeksuki sang korban, dia mengepalkan tangannya seolah-olah sedang memegang golok.
            Sekarang mereka berdua tampak berfoto dengan pose Kadek yang seperti sedang memenggal kepala Vee.
            Kadek dan Vee menjadi teman dekat sejak mereka mengetahu satu sama lain yang sangat tertarik akan dunia misteri dan semua itu tak bisa dijelaskan. Hobi mereka adalah membaca cerita hantu dan sejarah sekolahnya. Kemudian mereka mencari tahu tentang bagaimana sekolah mereka jadi bekas tempat eksekusi. Ini membuat mereka semangat.
***WANDA***
            “Apa kau sudah menyelesaikan laporan bahasa inggris??” tanya Vee kepada Kadek. Mereka berdua berjalan disebuah koridor dibagian halaman belakang sekolah. Koridor itu penuh barang – barang tua seperti meja, papan tulis bahkan lemari.
            “Tunggu! Ini buat besok?” Kadek balik bertanya dan Vee mengangguk. “Wah! Aku benar – benar lupa!! Aku akan keatas dan mengambilnya sebentar.. Tunggu yah!” kata Kadek. Vee lagi – lagi mengangguk kali ini diiringi kata Oke!
            Kadek berlari ke kelasnya yang ada dilantai 2 sekolah meninggalkan Vee yang sepertinya akan tetap menunggunya. Vee yang berdiri tepat dibagian depan sebuah ruangan tua yang pintunya terbuat dari besi berkarat yang bisa digerai menatap pintu itu lekat – lekat. Pintu terlihat sangat angker. Vee segera mengambil ponsel dari sakunya dan mengambil gambar. Vee tersenyum aneh.
***WANDA***
            Suara binatang – binatang  malam saling bersahutan, angin yang bertiup mampu menggoyangkan gorden kamar Vee yang berwarna putih itu. Rumah Vee hampir keseluruhannya berwarna putih dengan desain semi modern. Kamar Vee juga sama seperti kamar – kamar anak gadis lainnya. Dindingnya dihiasi beberapa lukisan. Meja belajar, dan tentu saja tumpukan – tumpukan buku. Hanya saja tumpukan buku itu lebih banyak yang bernuansa horror dari Komik sampai majalah horror dari pada buku – buku tentang pelajaran. Meski Vee juga termasuk siswi berprestasi dikelasnya.
            Kadek malam ini singgah dirumah Vee, membantu Vee mengerjakan laporan bahasa inggris yang harus mereka kumpulkan besok pagi. Vee bertugas menyusun materi dan Kadek yang mencari materi dari internet. Kadek menunggu Vee menyusun materi hingga selesai dan sesekali membuka website misteri sebagai hiburan.
            “Hey! Vee! Vee! Baca ini! Inikan tentang sekolah kita?” Kadek menemukan sesuatu yang menarik didalam website yang ia buka. Mendengar itu Vee segera menaruh bahan – bahan laporannya ke meja kecil yang ada disebelah kasur itu. Melihat reaksi Vee, Kadek segera menyeret laptopnya kedepan Vee. Mereka berdua nampak sangat serius membaca kata demi kata yang tertulis di website itu.
            “SMU ‘MP’ dekat kota Bandung?” Vee membaca sebaris kalimat yang menyatakan bahwa sekolah yang dimaksud benar – benar sekolah mereka ‘SMU MERAH PUTIH’.
            “Seorang siswi bernama Wanda dibunuh dengan kejam.. dan pembunuh itu memenggal kepalanya dan disembunyikan dikolong meja” mata mereka begitu memandang layar komputer lekat – lekat. “Tak ada satu orang pun yang pernah menemukan kepalanya sejak saat itu” lanjut Kadek.
            “Sejak kejadian itu.. jika kamu menemukan kepala siswi yang mengejutkanmu dikolom meja.. kau akan terkena kutukan.. jika kamu tidak bisa menemukan kepalanya sampai dua hari.. kamu akan mati” jelas Vee. Wajah Kadek seketika menegang dan pucat ketika membacanya. “Ini sedikit dramatis.. bagaimana menurutmu?” tanya Vee. Kadek bahkan tidak menjawab pertanyaan Vee, malah membaca artikel itu dengan seksama. Kadek menggigit bibir bawahnya dan keringat mengucur dikeningnya.
            “Hey! Ada apa?” tanya Vee melihat reaksi sahabatnya itu.
            “Eemm... ketika aku mengambil catatanku dikelas... kemudian... aku mendengar suara aneh. Aku datang dan mendekati meja itu.. meja itu jelas – jelas bergoyang sendiri... aku penasaran dan lebih mendekat lagi... lalu aku perlahan menengok kearah kolong meja dan...” belum sempat Kadek menjelaskan kejadian sore tadi pintu tiba – tiba terbuka dan Vee yang sejak tadi mendengarkan dengan serius menjadi terkejut.
            “Apa yang sedang kalian lakukan? Ini sudah jam 9 malam. Kau mau menginap disini Kadek atau mau pulang?” tanya ibu Vee dengan senyum. Kadek membalas tersenyum sementara Vee masih dengan wajah kagetnya.
            “Aku mau pulang sekarang saja..”
            “Aku akan mengantarmu kedepan” tawar Vee dan Kadek mengangguk. Vee dan Kadek pun bangkit dari kasur Vee. Mereka berjalan menuruni tangga diruang tamu ayah Vee duduk disofa dengan surat kabar yang setiap malam dibacanya.
            “Selamat malam paman..”
            “Selamat malam.. hati – hati dijalan ya?”
            “Iya..”
            Kadek berjalan kehalaman rumah Vee dan segera menyalakan mesin motor maticnya. Kadek menoleh kebelakang dan melambaikan tangan pada Vee yang masih berdiri didepan pintu rumahnya.
            Vee kembali kekamarnya dan melihat laptop itu masih menampilkan artikel mitos tentang sekolahnya, Vee segera mematikan laptopnya.
***WANDA***

            Vee berjalan masuk kekelas. Hari ini ia bangun agak siang, terlihat dari banyaknya siswa – siswi lain yang telah datang, dan bangku yang kosong hanya bangkunya dan bangku dibelakangnya lagi. Bangku itu milik Kadek.
            “Hey! Hey! Apa Kadek belum datang?” tanya Vee kepada Dania teman sebangkunya.
            “Tidak.. aku belum melihatnya pagi ini..” jawab Dania.
            Vee mengambil ponselnya dan segera menghubungi Kadek. Ekspresi cemas tergurat diwajahnya. Ponsel itu berdering tanda bahwa panggilannya masuk namun belum dijawab. Sesekali Vee memperhatikan bagian luar kelas, berharap ia akan melihat Kadek. Tak ada jawaban dan Kadek juga tidak datang.
            Vee menyalin tulisan yang ada di papan tulis ke bukunya dan sesekali memperhatikan guru matematika itu menjelaskan pelajaran linear. Vee merasakan bangku belakang menubruk bangkunya membuatnya sedikit terganggu, tapi Vee hanya diam dan kembali memperhatikan sang guru. Bangku itu kembali menubruk bangku Vee namun kali ini lebih kencang. Vee kembali diam dan bangku itu kembali menubruk dengan intensitas lebih cepat dan semakin sering.
            “Berhenti menggoyangkan mejanya...” gertak Vee dengan menghadap ke belakang. Ekspresinya ciut tatkal menemukan kenyataan bahwa tak ada seorangpun yang duduk disana dan semua siswa sedang sibuk menulis. Vee terlihat bingung dan merasa aneh. Dia kembali lanjut belajar meski dengan pikiran yang melayang.
            ‘12.30’ bel berbunyi, hampir semua siswa meninggalkan kelas sementara Vee masih mengemas peralatannya. Guru fisika sekaligus kepala sekolah mendekat kearah Vee.
            “Veriya Marwan” guru paruh baya itu menyebut nama lengkap Vee, dengan segera Vee mendongak kearah kepala sekolah. “Kadek Mahadewi tidak masuk hari ini?” lanjutnya.
            “Iya, pak”
            “Apa dia sakit?”
            “Aku kurang tahu. Karena kemarin dia baik – baik saja.” Jawab Vee.
            “Baiklah.. kalau begitu tolong beritahu dia untuk mengirim surat keterangan”
            “Iya, pak”
            Vee berdiri dan mengambil ponselnya. Dia menghubungi Kadek sekali lagi. Ponselnya kembali berdering.
            “Halo?” suara Kadek terdengar dari ponsel Vee.
            “Hey! Apa kau baik – baik saja? Aku menelponmu dari tadi.. tapi kau tidak pernah menjawabnya!” tanya Vee dengan antusias dan sedikit kesal.
            “Kamu ini kenapa? Aku hanya sedikit sakit jadi aku ke dokter dan tidur dari tadi-” Vee mendengarkan Kadek sembari mengambil bukunya dari meja namun pulpen yang ada didalam buku itu tidak sengaja terjatuh kelantai. “Aku bangun dan melihat semua panggilan tak terjawab darimu, itu sedikit mengerikan..”
            “Oh.. syukurlah kalau kau tidak kenapa – kenapa..” Vee mengungkapkan rasa leganya, sementara matanya tertuju pada pulpennya yang jatuh tepat didepan kaki bangkunya. Vee berjongkok dan memungut pulpennya. Saat ia mengalihkan pandangannya kearah kolong meja betapa terkejutnya ia saat melihat kepala seorang siswi dengan dagu yang penuh darah dan berambutnya pendek.
            “Kyaaaaaa!!!” Vee berteriak kencang dan menyipitkan matanya kemudian kepala siswi itu terbuka dan terlihat sedang menatap Vee dengan wajah yang menakutkan. “AAAHHHrrrggggg!!!!!” Vee berteriak sejadi – jadinya.
***WANDA***
            Keesokan harinya sekolah berlangsung seperti hari – hari sebelumnya. Siswa – siswi yang sedang makan dikantin, membaca buku diperpustakaan, semuanya normal. Hal yang sama tidak dirasakan Vee, ia sendiri di toilet sekolah, masih dengan pikirannya tentang banyak hal.
            Vee membasuh wajahnya dengan air keran. Kemudian mengangkat wajahnya kedepan cermin, melihat wajahnya yang lesu di cermin yang cukup besar itu. Ia lantas mengingat lagi kejadian kemarin. Kepala siswi dikolong meja. Teriakannya yang kencang. Teman – teman sekelas yang datang menenangkan. Semuanya masih ia ingat. Ia kembali menatap wajahnya di cermin. Vee tersenyum kecut dan menyeka air diwajahnya dan kembali memakai kacamata bundalnya.
            Vee berbalik dan membuka ponselnya. Ia melihat pesannya yang belum dibalas Kadek. Vee lalu menelpon Kadek, ponsel berdering lagi, Vee termenung dan dikejutkan dengan suara yang seperti kaca yang sedang pecah, suara itu tepat dibelakangnya dengan reflek Vee berbalik kearah cermin. Vee kaget melihat retakan yang ada dicermin, retakan itu sebelumnya tidak ada, Vee menengok ke sekitar. Hanya ia sendiri yang ada ditoilet ini.
            “Halo?” suara seseorang terdengar dari balik sana.
            “Halo! Apa kau masih sakit? Kenapa kamu tidak ke sekolah?” tanya Vee dengan penuh kekhawatiran.
            “Vee.. ini mamanya Kadek..” suara orang itu ternyata milik ibu Kadek, suaranya begitu berat dan terdengar sedih.
***WANDA***
            “Semuanya.. aku mau mengatakan sesuatu pada kalian semua..” kepala sekolah berbicara dengan ekspresi datar didepan murid kelas 11 – 3. Semua siswa terlihat serius, kecuali Vee yang terlihat menangis terseduh – seduh. “Teman sekelas kalian.. Kadek Mahadewi.. meninggal tadi malam..” semua siswa terlihat kaget, yang ada didekat Vee lantas menatap iba kepadanya yang masih menangis.
            “Apa yang terjadi.. pak?” seorang siswa laki – laki yang duduk dibelakang bertanya. Namun pasti semua siswa saat ini mempunyai pertanyaan yang sama.
            “Itu adalah sebuah kecelakaan.. dia tabrakan motor. Dan dia tidak menggunakan helm..” Vee semakin terseduh, membayangkan betapa mengerikannya kejadian yang menimpa Kadek. Orang – orang di tempat kejadian mengatakan bahwa kepala dan badannya terpisah. Kepalanya putus dengan mata yang melotot. Sungguh mengerikan.
            Setelah kejadian itu.. jika kamu menemukan kepala siswi yang mengejutkanmu dikolom meja.. kau akan terkena kutukan.. jika kamu tidak bisa menemukan kepalanya sampai dua hari.. kamu akan mati” kata – kata dari atikel itu dan reaksi Kadek malam itu selalu terngiang – ngiang di kepala  Vee membuatnya semakin sedih sekaligus kesal. Kenapa ia tidak peka dengan Kadek.
            Semua siswa telah pulang, namun pintu kelas tiba – tiba terbanting dengan keras. Sekonyong – konyong Vee masuk kedalam kelas dengan ekspresi penuh kemarahan. Ia lantas menuju kearah meja Kadek, meja dimana ia melihat kepala siswi dikolongnya.
            Vee mengubrak – abrik isi kolong meja itu, dan beralih ke meja disampingnya, berharap ia menemukan apa yang ia cari. Namun tak ada. Meski begitu Vee tetap mencari ke meja yang lain. Tetap saja tidak ada. Vee marah dan menendang meja yang ada disekitarnya.
            Vee melihat ada sesuatu yang aneh di meja paling belakang, ia mendekat dan melihat rambut seseorang didalamnya. Ia mendekat lagi dan kini meja itu bergoyang – goyang dengan sendirinya. Vee jelas takut, tapi sesuatu yang ia cari kemungkinan besar adalah itu. Vee mendekat dengan pelan ke meja itu.
            “Apa yang kau lakukan disini!?” suara kepala sekolah mengejutkan Vee.
***WANDA***
            “Apa yang sedang kamu cari di meja itu?” tanya kepala sekolah yang kini duduk didepan Vee.
            “Aku hanya ingin mencari sesuatu..” jawab Vee. Vee ada dikantor kepala sekolah.
            “Mencari sesuatu?  Apa itu?”
            “Aku benar – benar tidak bisa memberitahukannya..”
            “Veriya Marwan.. orang – orang akan berfikir bahwa kamu akan mencuri sesuatu jika mereka melihatnya..” jelas Kepala sekolah. “Kamu itu siswi yang berperilaku baik.. dan kamu juga bagus dalam pelajaran.. jadi aku tidak percaya kalau kamu adalah orang yang seperti itu” sambungnya. Vee hanya tertunduk mendengar kepala sekolah berbicara.
            “Aku percaya padamu.. jadi bisakah kamu ceritakan apa yang akan kamu cari dimeja itu?” tanya kepala sekolah sekali lagi.
            “Pak.. apakah dulu ada seorang siswi yang bernama Wanda disekolah kita?” Vee balik bertanya. Kepala sekolah itu terlihat menegang.
            “Wanda!? Bukankah itu hanyalah rumor online?”
            “Jadi itu tidak benar?” Vee bertanya lagi.
            “Wanda dulu memang sekolah disini.. dan memang benar dia meninggal disekolah kita.,” Vee memasang ekspresi sedih. “Dia dulu muridku.. tapi aku tidak percaya pada rumor itu.. itu semua memang terjadi.. apa kau tahu? Belum pernah ada yang meninggal disekolah kita setelah kematian Wanda!” jelas kepala sekolah.
            “Lalu bagaimana dengan Kadek!?” Vee bertanya dengan nada sedikit lebih tinggi dari sebelumnya namun masih terdengar sopan.
            “Yang meninpa Kadek adalah kecelakaan..! kamu tahu itu semua hanyalah masa lalu!” debat kepala sekolah. Vee mengangguk – ngangguk. “Veriya Marwan.. aku mengerti apa yang kamu lakukan.. kamu kehilangan teman baikmu.. tapi dengan melakukan ini tidak membuat semuanya lebih baik.. Kadek tidak ingin kamu menjadi seperti ini..” kepala sekolah menasehati Vee yang hanya menatapnya dengan tatapan datar. “Ini sudah terlambat.. aku pikir sekarang kamu harus pulang..!” Kepala sekolah berdiri dari tempat duduknya dan membereskan barang – barang yang ada dimejanya.
            “Pak... apakah hantu itu nyata?” Vee bertanya sekali lagi
            “Tentu saja.. tapi apakah hantu Wanda itu nyata? Aku tidak berpikir kalau dia akan balas dendam pada siapapun..”
***WANDA***
            Malam ini Vee termenung sendirian. Antara rasa sedih karena kematian sahabatnya dan rasa takut yang menghantuinya tentang kutukan hantu kepala Wanda itu.
            Knock! Knock! Knock!” suara pintu terketuk dari luar kamar Vee membuyarkan lamunannya.
            “Belum tidur, sayang?” ibu Vee melangkah masuk ke kamar Vee dan juga ikut duduk di tempat tidur Vee.
            “Sebentar lagi, Bu..” jawab Vee. Ibu Vee tersenyum kemudian menggenggam tangan Vee.
            “Vee.. kamu bisa menceritakan padaku kalau ada masalah.. aku dan ayahmu sangat menghawatirkanmu..” ibu Vee tampak sangat khawatir dengan sikap Vee beberapa hari terakhir ini.
            “Aku baik – baik saja.. terima kasih bu..”
            “Aku bersyukur kalau kamu baik – baik saja..” kali ini ibu Vee membelai rambut Vee dengan penuh kasih sayang.  Vee memperhatikan wajah ibunya, senyum ibunya yang tiba – tiba berubah menjadi wajah kaget. Ibu Vee menyingsingkan rambut Vee kebelakang dan mengangkat wajah Vee.
            “Apa yang terjadi dengan lehermu? Lehermu berdarah..” ibu Vee mendekatkan tangannya kearah leher Vee dan menyentuh bagian sebelah kanan leher Vee. Sentuhan tangan ibu Vee membuat Vee leher Vee terasa perih.
            Ibu Vee menunjukkan telapak tangannya yang kini ada darah leher Vee diatasnya, Vee merasa terkejut dan tidak mengerti dimana ia mendapatkan luka itu. Vee ingin memastikan sendiri dan mendekatkan tangannya kelehernya sendiri dan benar ada luka seperti goresan yang cukup dalam.
***WANDA***
            Hari ini pelajaran Fisika. Ibu Ros sedang menjelaskan mengenai materi yang dipelajari. Namun kepala Vee terlalu dipenuhi banyak pikiran untuk memperhatikan Bu Ros menjelaskan.
            “Veriya Marwan..!” Vee segera menatap Bu Ros yang kini juga menatapnya. “Bisa kedepan dan menyelesaikan soal ini?” guru itu sejak tadi memperhatikan Vee yang menghiraukannya.
            Vee berjalan kedepan dan tepat didepan papan tulis putih ia berhenti dan meraih spidol hitam yang ada dimeja. Ia menatap papan tulis putih yang kini berubah menjadi papan tulis hijau khas jaman awal tahun 2000-an. Vee heran dan kaget. Suara bising sekolahpun menghilang. Suasana menjadi hening dan menakutkan.
            Vee dengan perasaan takut dan juga penasaran membalikkan wajahnya kearah bangku – bangku siswa secara perlahan. Ia tidak menemukan seorang siswa pun dan yang ada hanya ruang kelas tua. Pojok kiri atas papan tulis itu tertulis ‘Jumat, 26 Mei 2000’.
            Merasakan kehadiran seseorang dibelakangnya Vee dengan perlahan berbalik. Seseorang berbaju putih biru dengan kepala yang buntung. Itu mengerikan. Vee segera mengalihkan pandangannya. Ia menahan suaranya agar tidak berteriak. Ia kini gemetar dan kaku.
            Siswi tanpa kepala itu meraih kapur putih dan seperti akan menulis sebuah kata.
            “T... O... L... O... N... G” Vee membaca tulisan kapur itu. Dan ia terdiam lagi saat sebuah tangan ia rasakan akan menyentuh pipinya dari belakang.
            “Vee! Kamu mimpi buruk! Kamu tidak apa – apa?” ibu Vee membelai wajah Vee dan nada suaranya begitu khawatir. Vee tersentak antara rasa takut dan lega itu hanya mimpi juga rasa bingung karena mimpi itu terasa begitu nyata. “Kamu berkeringat! Apa kamu baik – baik saja..” Vee tidak menjawab ibunya yang terus membelai rambut Vee menenangkan Vee.
***WANDA***
            Vee membuka kembali artikel itu dari laptopnya. Ia merasa malam ini ia harus menyelesaikan masalahnya dengan hantu berkepala buntung itu. Ia kemudian melihat hyperlink tentang misteri kematian Wanda, ia lantas membuka artikel itu.
            Seorang siswi berambut pendek sebahu ada didalam foto diartikel itu. Itu adalah Wanda.
            “Apa yang kau lihat Wanda...?” Vee menatap lekat – lekat foto Wanda.
            Cara memainkan papan OUIJA..” Kata kunci itu ia ketikkan di aplikasi browsing di laptopnya. Setelah melihat beberapa cara Vee akhirnya memutuskan untuk membuat sendiri papan Ouijanya dengan peralatan yang ada. Kertas karton. Penggaris dan spidol. Ia mulai membuat papan Ouijanya dimulai dengan menggaris kotak – kotak sama besar dan menulis huruf kapital secara lengkap. Setelah selesai ia segera pergi. Berlari ke arah sekolahnya.
            Vee masuk kedalam kelas seorang diri. Dan menaruh papan Ouija kertasnya keatas dimeja dimana ia melihat kepala Wanda disana.
            Vee membakar lilin kemudian meniupnya. Asap dari lilin itu ia tangkup didalam gelas kaca kecil yang berfungsi sebagai penggerak. Vee menaruh jari telunjuknya diatas kaca itu. Dan mulai membaca mantra kuno.
            “Aku mengundang roh yang ada ditempat ini untuk masuk kedalam gelas ini...” Vee berniat memanggil roh Wanda masuk kedalam gelas. “Jika kamu telah masuk.. tolong pindah ke ‘YA’..” Vee ingin memastikan bahwa roh Wanda sudah benar – benar disini. Gelas itu dengan perlahan bergerak kearah kata ‘YA’ yang ada dipapan Ouija. Gelas itu bergerak sendiri tanpa ada dorongan dari jari telunjuk Vee. Dan dengan sendirinya juga gelas itu bergerak ketempat sebelumnya.
            “Apa kau Wanda?” papan itu bergerak lagi kearah ‘YA’. Vee menelan ludah karena takut. Namun ia tetap akan mengajukan pertanyaan selanjutnya.
            “Apa yang bisa saya lakukan untukmu?” kemudian gelas itu bergerak ke arah huruf ‘C.. A.. R.. I.. K.. E.. P.. A.. L.. A..’ secara berurutan. Wanda ingin Vee mencarikan kepalanya.
            “Dimana aku bisa menemukan kepalamu?” gelas itu bergerak lagi, sekerang bergerak ke arah huruf ‘I.. K.. U.. T.. I’. “Ikuti? Apa maksudnya?” Vee bingung dengan petunjuk hantu Wanda.
            Angin menghempas pintu sangat kencang. Pintu itu terbanting. Vee berdiri dengan rasa penuh ketakutan. Vee sekarang terlihat ingin menangis. Namun ia kembali diam saat mendengar suara beberapa orang dari luar yang ingin masuk kedalam kelas.
            “Kamu tanya terus.. dimana kita sekarang..” seorang siswi yang mirip Wanda mengoceh kepada teman perempuan yang berjalan dibelakangnya.
            “Awalnya.. aku tidak takut. Tapi sekarang aku mulai takut” keluh siswi perempuan yang dibelakang Wanda. Vee seperti tidak terlihat disini, namun ia melihat 3 orang siswa – siswi disini, Seorang siswi yang mungkin adalah Wanda, seorang siswi lagi berambut panjang dan satu orang siswa laki – laki.
            “Iya! Bagaimana kau tahu kalau tempat ini adalah tempat kejadiannya?” tanya siswa laki – laki itu pada Wanda.
            “Sebenarnya.. aku tidak percaya. Makanya akau ingin memastikannya” Wanda lalu menaruh papan Ouijanya kelantai dan duduk bersila saling berhadap – hadapan didepan papan Ouija itu. Vee melihat kejadian ini hanya diam memperhatikan. Vee tak sengaja menengok kearah papan tulis dan melihat tanggal yang sama saat ia mimpi ‘Jumat, 26 Mei 2000’.
            “Ingat! Kalian tidak boleh mendorong gelasnya dengan sengaja.. kalian juga tidak boleh berpura – pura. Kau juga tidak boleh memecahkan gelasnya.. atau rohnya akan merasukimu..” Wanda menjelaskan peraturan permainan papan Oujia pada kedua temannya. “Apa kalian siap?”
            Wanda dan kedua temannya mulai membaca mantra kuno yang sama diucapkan Vee tadi. “Kami mengundang roh yang ada ditempat ini untuk masuk kedalam gelas ini..” Wanda dan teman – temannya mengucapkannya nyaris bersamaan.
            “Apakah sekarang sudah ada roh yang masuk kedalam gelas?” tanya teman perempuan Wanda yang bernama Luna. Gelas itu bergerak kearah kata ‘YA’. Mereka saling bertatapan dan tersenyum.
            “Apakah anda adalah sang pengeksekusi seperti yang dibicarakn orang – orang?” giliran Wanda bertanya dan lagi gelas itu bergerak kearah ‘YA’.
            “Siapa nama anda?” tanya Leo teman laki – laki Wanda. Gelas itu tidak bergerak.
            “Kapan anda meninggal?” Kali ini Wanda lagi yang bertanya, tapi gelas itu tetap tidak bergerak. “Bisakah anda memberitahu kami.. apa yang bisa kami lakukan untukmu?” Wanda bertanya lagi. Gelas itu lagi – lagi tidak bergerak.
            “Kenapa lama sekali!” keluh Wanda.
            Gelas itu bergerak “M.. A.. T.. I..” gelas itu bergerak secara terus menerus ke arah huruf “MATI!!”. Mereka bertiga terkejut.
            “Heyy!! Apa kalian mendorong gelasnya??” Wanda tegang. “Ini tidak lucu!” gelas itu masih terus bergerak “MATI”.
            “Aku tidak melakukannya!!” teriak Luna.
            “Aku juga!!”
            “Apalagi aku!!” teriak Leo.
            “Apakah ini kamu?”
            “Aku tidak melakukannya..”
            “Hentikan ini tidak lucu!!” mereka bertiga saling menuduh dan gelas itu masih bergerak.
            Cahaya lampu senter menyilaukan mata mereka. Senter itu datang dari arah pintu.
            “Apa yang kalian lakukan?” penjaga sekolah membuat mereka bubar.
            “Huss.. hufft.. anda pak penjaga..” Wanda menatap penjaga sekolah yang sudah berusia lanjut itu.
            “Kalian murid disekolah ini’kan?” tanya penjaga itu “Ini sudah larut malam? Kenapa masih disini??” tegur penjaga itu.
            “Ahh.. maaf pak. Kami melupakan sesuatu disini dan kami akan pulang sekarang” Wanda, Luna dan Leo membereskan papan Ouija mereka dan berdiri.
            “Cepatlah!”
            Wanda memasukkan papan Ouija kembali kedalam tas tapi sayang gelasnya terjatuh dan pecah Wanda, Luna dan Leo panik dan Vee yang menyaksikan juga kaget.
            “Jangan sampai terluka ya, nak?” penjaga itu mendekat kearah Wanda dan Gelas pecah itu.
            “Iya” Wanda menunduk dan berniat memungut pecahan – pecahan gelasnya. Tapi penjaga sekolah tua itu tiba – tiba tertunduk dan kemudian roboh kelantai.
            “Pak! Pak! Bapak tidak apa – apa?” tanya Wanda bingung melihat pak penjaga itu kini terlentang diatas lantai dan kejang – kejang. “Apa yang terjadi padanya?” tanya Wanda kepada Luna dan Leo yang kini berdiri didepan pintu.
            Penjaga itu sudah tenang namun masih tergeletak, dan perlahan berdiri dan meraih sakunya. Penjaga itu mengambil pisau lipat dari tangannya. Wanda yang melihat itu mulai takut. Apalagi saat penjaga itu membelai pisaunya dengan tangannya.
            Penjaga itu menengok kearah Wanda dengan perlahan dan pisau lipat yang ada ditangannya kini menghunus ke arah depan. Wanda yang melihat itu semakin takut saja. Dan dengan tiba – tiba penjaga itu menusuk bahu Wanda. Vee yang melihatnya berteriak.
            Wanda ditarik dan kepalanya dibuat menempel ke meja dan penjaga itu mulai menusuk leher Wanda. Luna dan Leo sudah kabur dan Vee semakin histeris. Penjaga itu menusuk leher Wanda lagi dan lagi hingga Wanda mungkin sudah meninggal.
            Penjaga itu kemduian menggorok leher Wanda sampai putus. Tubuh Wanda terjatuh sementara kepalanya ada ditangan penjaga yang kerasukan roh pengeksekusi itu. Penjaga itu berjalan keluar kelas. Vee menangis histeris sendirian dan menatap penjaga itu berlalu dengan menarik kepala Wanda.
            Tersisa Vee yang berlutut dan Wanda tanpa kepala yang tergeletak di ruang kelas. Tangan Wanda bergerak dan seperti akan bangkit, darah sudah memenuhi seluruh seragam putihnya. Wanda bangkit dan berdiri tubuhnya menghadap Vee dan jarinya menunjuk kearah luar. Mengisyaratkan untuk Vee mengejar Penjaga itu. Vee yang sudah mengerti berdiri dan berlari keluar kelas. Dan berlari mengikuti Penjaga itu yang membawa kepala Wanda.
***WANDA***
PART 1 SELESAI

Kamis, 25 Agustus 2016

Our Loves By Nur Nur



Novel : Our Loves By Nur Nur
--- Bab 1 ---
Sang Malaikat
            Aku berjalan, menggerutu, menyumpahi diriku sendiri. Aku sangat menyesal memilih sekolah ini sebagai tempat menimba ilmu. Bagaimana tidak? Peraturan untuk siswa sangat ketat sekali, bukan lagi biaya per-semesternya teramat mahal. Bagi siswa yang orang tuanya hanya pegawai swasta sepertiku tentu itu sebuah beban besar, namun ayahku mendesakku sekolah disini, meski harus berdebat keras dengan ibuku.
            Kakak kelas disinipun sudah lebih seperti kakak tiri, membentak, memperbudak, bahkan mengolok olok siswa baru sepertiku.
            Aku berjalan menyeret sapu ijuk yang ada ditanganku. Sekolah ini sangat membosankan, membuatku merasa seperti didalam penjara setiap harinya. Tak ada apapun yang membuatku semangat.
            “Eh!!  Kalau jalan lihat lihat dong!!” bentak seorang kakak kelas perempuan yang tak sengaja kutabrak. “Punya mata nggak sih!!?”.
            “Punya!! Kakak nggak lihat!?” jawabku tak kalah sengitnya.           
            “Itu bukan pertanyaan!! Jangan dijawab!!!” jawabanku membuatnya semakin marah.
            Dia menyuruhku memungut sampah yang ada di got kecil didepan koridor sekolah. Dengan berat hati dan muka masam aku menurutinya. Sekali lagi aku memarahi diriku sendiri. Kenapa aku tidak ikut perintah ibu! Sekolah di sekolah negeri, gratis dan bebas.
            Aku hanya mengaduk ngaduk sampah yang ada didepanku, aku berjongkok dan memegang satu sapu lidi. Kakak kelas tadi sudah tidak mengawasiku. Dia telah pergi.
            Aku berfikir keras, hal apa yang akan membuatku betah bersekolah disini? Kemudian terlintas difikiranku. Seorang pria tampan, manis, atletis dan sempurna. Dia adalah seorang atlet bulutangkis kesukaanku. Aku berandai andai, jika saja ada orang yang seperti itu disekolah ini. Aku tak akan pernah melepaskan pandanganku darinya.
            Berkhayal telah membuatku lupa tentang waktu, aku memungut sampah yang telah kukumpulkan, aku berdiri dan bersiap melangkah keatas lantai koridor, namun aku menabrak seseorang lagi yang sedang berjalan.
            Dia menatap padaku, dia juga memegang kedua bahuku memastikanku tidak jatuh karena menabraknya.
            Matanya senduh, namun terkesan tajam, sosok yang mampu membuatku merasa aman hanya dengan dia memegang bahuku. Dia juga tampan. Auranya aneh.
            Dia masih menatapku yang menatapnya. Aku hanya menatapnya dalam dan lebih dalam lagi. Saat aku tersadar dari lamunanku satu hal yang kulakukan sebelum ia melepaskan pegangannya. Namanya!. Aku harus mencari Namanya.
            ADITYA WIRMAN. Namanya ADITYA WIRMAN. Aku sempat menggumam dan menyebut namanya hingga kemudian dia melepaskanku. Dia pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun. Aku menatap bahunya dari belakang, langsung merasa terbiasa.
            Aneh! Aku merasa namanya tidak asing lagi ditelingaku. Meski samar samar aku masih ingat betul ada seseorang dikeluargaku memakai nama yang sama. Namun anehnya lagi itu hanya perasaanku.
***
            “Aku pulang!!” teriakku.
            “Oh kau sudah pulang! Ganti baju dan segera makan!!” jawab ibu dari arah dapur. Seperti biasa yang menjawab adalah ibu, bukan ayah. Karena ayah pulangnya jam 9 malam. Dan ibu adalah satu satunya orang yang ada dirumah saat aku pergi sekolah.
            Aku berjalan kearah ibu, dan melihatnya mempersiapkan masakan untukku. Ibu memakai celemek berwarna orange. Wajahnya tampak lelah dan dia tersenyum padaku.
            “Biar aku bantu..” tawarku langsung mengambil satu mangkok besar berniat mengisinya dengan sayur yang telah ditumis ibu. Namun ia segera menahan tanganku, mencegah aku sebelum aku mengotori baju seragamku sendiri. Dia tersenyum lagi padaku, namun senyumnya itu mungkin berarti “Jangan Nakal”. Aku memang selalu diperlakukannya seperti anak kecil.
            “Cepat ganti baju..! ibu mau ketemu Iyat..” pintanya sekali lagi.
            “Loh! Iyat Ibu? Ada apa dengan Iyat?” tanyaku tak memperdulikan perintahnya, dia juga seperti tidak mempermasalahkannya.
            “Dia katanya jatuh dari motor.. jadi neneknya telepon ibu untuk datang kerumah sakit..” jelasnya dengan tenang.
            “Loh! Ibu kok! Tidak langsung kesana?” tanyaku panik.
            “Lagian neneknya nelpon pas ibu lagi masak, jadi ibu nuggu sampai kamu pulang aja”. Ibu melepas celemek dan masuk kekamar, tanpa ada penjelasan lebih lanjut.
            Aku juga melangkah masuk kedalam kamarku, melepas seragamku dan ingin cepat cepat mengguyur tubuhku dengan air dibawah shower.
            Didalam kamar mandi, kudengar ibu berteriak bahwa ia akan pergi dan menyuruhku menyampaikannya pada ayah. Aku tak menjawab, ibu juga segera pergi. Dalam guyuran air dari atas terlintas difikiranku siswa yang kutabrak. Aku memikirkannya. Bahkan setelah aku selesai mandi dan memakai pakaian aku masih memikirkannya.
            Sekali lagi untuk kesekian kalinya, mata sendu tapi tajam itu menelusup tiba tiba kedalam fikiranku. Aku juga senyum senyum sendiri. Aku  kembali memikirkan Aditya Wirman.  Sayang sekali hanya namanya yang kuketahui.
            Sebelum lamunanku tambah jauh, aku melangkahkan kakiku meninggalkan kamarku, kuputar kenop pintu, dan menatap sebentar keluar sebelum tubuhku benar benar keluar kamar. Tercium bau yang sangat sedap. Perutku langsung keroncongan, sejak pulang sekolah aku memang belum memakan apapun, makanan yang telah disiapkan ibu juga belum kumakan. Ini sudah malam, jarum jam pendek tepat menunjuk angka 8. Tandanya sudah jam 8 malam.
            Aku mengikuti arah bau itu. Menuju dapur yang disampingnya ada meja makan, disana kulihat ayah sedang membuka tutup mangkok plastik yang berwarna pink, asap tipis langsung menyembur dari arah makanan itu. Aku langsung meluncur menuju ayah.
            Dugaanku benar, setelah melihat isi mangkok itu. Sup daging sapi dengan kuah kental!. Ayah kaget aku langsung muncul dibelakangknya.
            “Apa kau belum makan?” ayah bertanya dan mengaduk ngaduk sup kental itu. Perasaanku makin menggila, ingin segera kulahap sup itu. Dengan cepat aku langsung mengangguk dan mulai memasukkan sendok demi sendok kedalam mulutku. Ayah memperingatkanku untuk makan pelan pelan meski tidak kuperdulikan.
            Aku tak berhenti melahap supku hingga tenggorokanku seperti diganjal sepotong besar daging sapi, membuatku tersedak, mataku memerah dan aku terbatuk. Ayah yang melihatku terbahak kemudian dia menepuk nepuk pundakku hingga semua daging itu kumuntahkan kembali keluar dari mulutku.
            Dari arah pintu depan terdengar suara ibu memberi salam, ayah segera keluar dan aku mengikutinya.
            “Bagaimana dengan Iyat? Dia nggak apa apa kan?” tanya ayah dengan khawatir.
            “Dia baik saja, Cuma agak cedera saja..” jawab ibu santai namun sedikit lelah.
            “Seharusnya ibu mengajaknya kesini!” sambarku. Aku memang selalu memimpikan Iyat tinggal disini denganku. Aku ingin punya kakak.
            “Ibu juga sudah mencoba mengajaknya, tapi dia.. tetap kekeh..”.
***
            Aku berangkat kesekolah, pakaian putih lengan panjang dengan rok biru muda  menempel pas ditubuhku. Aku selalu pergi kesekolah dengan diantar ayah. Aku datang tepat jam 6 tigapuluh, sudah cukup banyak siswa yang datang. Mataku mencari seseorang namun sejauh mataku memandang aku tak menemukan sosok yang kucari, malah mataku berpapasan dengan mata lain yang berbinar memanggilku di koridor sana. Akupun berlari kesana, meninggalkan ayah yang siap melanjutkan perjalanannya.
            “Haii.. Din!!” sapaku ke perempuan kurus bermata lebar yang tadi memandangku. “Dan hai.. Dila!” sapaku keperempuan disebelahnya, dia agak pendek dan tubuhnya gempal.
            “Haii.. kamu kok dari tadi aku panggil nggak jawab jawab sih!” kata Dini.
            “Iya! Sampai sampai urat leher Dini mau copot!! Hahaha!!” tukas Dila. Aku hanya ikut mereka tertawa dan kami berjalan menuju kelas kami.
            Mereka memang teman sekelasku, Dini sikurus lebih cerewet dan suka keceplosan sementara Dila, dia nggak pemalu, dia bisa mengeluarkan kata kata seenaknya dan dia sedikit tomboy, meski pacarnya banyak, mungkin karena wajah Dila memang cantik.
            Aku kembali mencari Aditya Wirman dalam perjalananku menuju kelas. Namun aku tetap tak menemukannya bahkan sampai jam terakhir disekolah aku tetap tak menemukannya. Aku bahkan berfikir mungkin Aditya Wirman hanyalah pria khayalanku saja.
            Bahkan setelah seminggu Aditya Wirman juga belum aku lihat disekolah. Kini aku berfikir dia benar benar buah dari kejenuhanku disekolah sehingga tanpa aku sadari aku menciptakan seorang pria khayalan yang sesuai dengan tipe priaku.
            Ibu juga masih sering mengunjungi kak Iyat’ akhir akhir ini. Aku pernah ikut sekali dan katanya Iyat’ tak mau melihatku. Saudara tirinya. Aku tak marah, aku memakluminya. Tapi aku tetap berharap suatu saat nanti dia benar benar menjadi kakakku. Tempatku menvurahkan segala perasaanku. Namun entahlah itu akan menjadi nyata atau hanya mimpi mimpiku.
***
            Sudah agak siang waktu itu, saat aku dan Dila berjalan menuju kantin sekolah. Dan ajaibnya aku melihatnya. Melihat Pria khayalanku. Dia berjalan dijalur yang sama denganku namun arah yang berbeda.
            Dia berjalan sendirian, berjalan diantara banyaknya siswa siswa lain. Auranya begitu hebat, mataku bahkan melihat seperti ada cahaya yang begitu menyilaukan terpancar darinya. Aku hanya menatapnya, menatap keseluruhan dirinya. Mulai dari rambutnya yang bergaya masa kini namun warnanya hitam lekat, matanya yang aneh menurutku, agak sipit namun terkesan sendu. Hidunya yang mancung. Bibirnya yang tipis terbelah berwarna pink gelap, kulitnya yang sawo matang dan badannya yang ideal.
            Entah orang tua seperti apa yang telah menghasilkan anak yang sudah seperti malaikat. Meski aku belum melihat malaikat, aku yakin dia lebih daripada Malaikat.
            “Hey!! Kau hampir menabrak Adit!!” bentak Dila membangunkan lamunanku. Tanganku digenggam erat oleh tangan yang hangat dan lembut. Tubuhku setengah berdiri dipengangi seorang laki laki. Aku menatap laki laki itu, dan seketika tubuhku seperti merasakn aliran listrik yang aneh. Membuat jantungku berdebar lebih cepat dari biasanya.
            ‘Aditya Wirman!! Aku tak akan melepaskannya! Tak akan pernah!!’ batinku berseru. Membiarkan tubuhku bergetar dipelukannya, digenggaman tangannya. Dia melepaskanku dengan kasar, mendorong tubuhku kearah Dila.
            “Kurasa.. aku sudah menabraknya..” gumamku diiringi senyuman menatap Dila, tubuhnya yang gempal cocok untuk dijadikan sandaran. Kini gilaran Dila yang mendorongku.
            Aku hanya tersenyum dan kemudian mencari sosok Adit di sekitarku. Namun dia tidak ada lagi. ‘Secepat itukah dia pergi?’ aku bertanya pada diriku sendiri.
            Aku kembali hanya melihat punggungnya dari belakang, dia sudah agak jauh dari pandangan. Langkah kakinya yang panjang dan tenang membuatnya berlalu dengan cepat. Aku masih menatapnya saat Dila menarik paksa tanganku menuju kantin sekolah.
            Dikantin sudah ada Si Kurus Dini dengan teman teman kelasku yang lain. Mereka makan dan berkata kata bersama. Dini melihat aku dan Dila dan segera memberikan tempat duduk untuk kami.
            Sepiring nasi beserta lauknya, sebotol air mineral, sudah ada didepanku. Namun aku tak memakannya bahkan pandanganku menatap kearah yang lain. Aku masih memikirkan kejadian tadi, dan aku masih memikirkan ternyata dia bukan pria khayalanku. Dia nyata!. Setiap aku memikirkan kejadian yang lucu dan luar biasa tadi aku semakin bergetar.
            ‘Siapa sebenarnya Aditya Wirman!’ yang jadi pertanyaannya adalah itu. Siapa dia? Aku mungkin sudah menyukainya. Tapi bahkan alamatnya saja tidak aku ketahui, bukan lagi apa dia nakal atau tidak, dia jahat atau baik. Dan masih banya pertanyaan yang lain.
            Aku tersenyum menatap Dila. Dan tiba tiba aku teringat bentakannya. “Hey!! Kau hampir menabrak Adit!!”. Dila menyebut nama ‘Adit’. Setidaknya pasti dia kenal Aditya.
            “Dil..! dil! Dila!!” panggilku sembari mengguncang tubuhnya. Alhasil bakso yang hendak ia lahap terjatuh. Dia menatapku dengan kesal. Aku hanya nyengir.
            “Ada apa?” tanyanya kesal.
            “Kamu tahu yang tadi aku tabrak!” tanyaku antusias.
            “Ehmm!” dila sepertinya berfikir. “Ohh!! Adit? Kenapa emangnya?” tanyanya santai.
            “Oh! Adit!! Aditya Wirman bukan?” timpal Alma, salah satu teman kelasku juga.
            “Kamu kenal!!??” tanyaku penasaran pada Alma.
            “Yaa Iyalaah!! Emang kamu nggak kenal? Uhh sayang banget!!” Alma mengeluh padaku. “Dia itu cowok populer kali disekolah ini!!” sambungnya.
            ‘Populer?’ aku bahkan tidak mengetahuinya.
            “Memangnya kenapa? Kamu tertarik sama Adit?” tanya Dila dengan nada sinis.
            “Ter.. ter.. tertariik!!” pekikikku. “Bagaimana bisa aku terarik pada orang yang kasar seperti itu!!! Dia bahkan tak bersikap lembut pada seorang perempuann!!” kataku mengelak dengan nada tinggi.
            “Oh..!! jadi kau tidak menyukainya....?” tanya Dila. Aku tidak menjawab, tapi aku hanya mengangkat bahuku.
            “Adit itu orangnya nakal, suka bolos tapi dia itu lumayan pintar..” akhirnya Dila memberi jawaban.
            “Adit juga hanya satu kali berpacaran...” sambung Alma.
            “Nakal.. Suka bolos.. lumayan pintar....” ulangku sambil agak berfikir. “Dan hanya satu kali berpacaran...” sambungku. “Kenapa kalian tahu banyak tentang Adit???” tanyaku dengan nada tajam.
            “Tentu saja Dila banyak tahu.. diakan mantannya.....” jawab Alma yang mulutnya langsung disumpal tangan Dila.
            “Apaaaa!!!!!” kali ini aku berteriak. Semua yang ada dikantin menatapku.
            “Kau salah paham.. dia mantannya Alma juga kok!! Bahkan dia juga mantan kamuu!!” elak Dila.
            “Mantan Alma? Mantanku??” tanyaku keheranan.
            “Yahh!! Dia mantan kamu juga kokk!!” jawab Dila kekeh.
Aku semakin tidak mengerti apa yang Dila katakan.
            “Ahh!! Iya...! jadi maksudku.. Adit itu mantan teman satu sekolahmu dan juga mantan teman sekolahku dan Alma..” jelas Dila.
‘Aku satu sekolah dulu..?’ aku bahkan baru kali ini melihatnya
            Kemudian aku, Dila dan Alma merasa ada hal yang aneh. Kemana burung ‘beo’ itu? Aku menatap Dila dan Alma. Kemudian kami bertiga lanjut menatap Dini, si burung ‘beo’ kami yang selalu pintar bicara dan menyela setiap kami bicara, dan sekarang dia nampak sedang senyum senyum sendiri, menjadikan tangannya sebagai sandaran dagunya di meja kantin. Aku, Dila dan Alma mengikuti arah pandangan Dini. Kemudian mata kami sampai di sekumpulan siswa kelas X. Mereka sudah termasuk siswa nakal, bahkan belum cukup tiga bulan kami bersekolah disini dan masing-masing dari mereka sudah mengoleksi lebih dan sepuluh pelanggaran. Aku penasaran, apa diantara siswa siswa itu ada yang disukai Dini.
            Dan anehnya ada sepasang mata tajam yang sedang menatapku diantara siswa siswa nakal itu dan sialnya dia adalah ketua genk yang mereka namai ‘RED DEVIL’ dari nama genknya saja sudah menggambarkan karakter anggota anggotanya.
            Karena risih selalu ditatapi aku menyembunyikan wajah dan tubuhku pada tubuh kurus Dini yang ada disampingku, kebetulan dia yang paling dekat dengan arah keluar kantin.
            “Dia menatapku!!!” teriak Dini. “Cowok keren itu!!! Jason menatapku!!! Aku benar benar malu..! namun senang..!!!” lanjutnya dengan nada yang sama.
Alma dan Dila menatap lekat lekat Dini, sementara aku bersyukur se-syukur-syukurnya. Ternyata aku hanya salah sangka, yang Jason tatap itu bukan aku tapi Dini yang ada didepanku.
“Heyy!! Apa kau menyukainya??” Tanya Dila sengit.
“Ya.. iya lahh!! Dia itu keren, ganteng dan kaya..!!” jawab Dini berbinar, ada banyak hal yang ia sebut tentang Jason dan entah kenapa ia melupakan satu hal terpenting.
“Dan juga yang paling nakal diantara semua siswa tahun pertama!” timpalku.
Aku membuat Dini berhenti membanggakan Jason.
“Kenapa? Dila saja rata rata cowoknya anggota genk!! Dan aku mungkin saja jadi pacar ketua genk!!” jawab Dini. “Apa kau tidak menyukainya? Aduh sayang sekali..!!”.
Dini sudah seperti tahu jawaban apa yang akan aku berikan padanya.
“Ehh! Ehh! Eeeehhh! Jangan sangkut pautkan aku dong!” kata Dila dengan nada marah.
“Udah... udah..! Jangan berdebat..!!” kata Alma menengahi.
Kami berempat berjalan menuju kelas. Dini dan Dila bahkan masih sempat berdebat.
                                                                        ***
            Malam ini ibuku ingin memperlihatkan beberapa foto Iyat’ selama dirumah sakit. Aku sangat senang. Iyat’ tak pernah ingin difoto sebelumnya, bahkan sekalipun tak pernah.  Ibuku sering memperlihatkan foto-fotoku pada kak Iyat. Mungkin kak Iyat tak pernah ingin melihat fotoku.
            Aku masih tidur melamun sebelum seseorang mengetuk pintu kamarku dari luar. Aku yakin dia pasti ibu. Kemudian kenop pintuku seakan terputar sendiri, pintu kamarku terbuka sedikit demi sedikit, kemudia seorang wanita paruh baya melangkah masuk kamarku. Wajahnya benar benar lembut. Dia berjalan santai kearahku dan menggenggam beberapa lembar foto. Kata orang meski ibu bukan ibu kandungku aku benar benar mirip ibu.
            Aku langsung membangunkan tubuhku dengan cepat. Seolah tak sabar melihat perubahan wajah kak Iyat, yang terakhir kali aku lihat sekitar 7 tahun yang lalu. Waktu itu wajahnya benar benar innocent. Lucu! apalagi ekspresi muka kesalnya. Aku menjadi sangat penasaran bagaimana dia sekarang?.
            Ibu duduk disampingku, dia mendesah pelan dan kemudian tersenyum. Aku tak sabar dan langsung menyambar foto foto itu dari tangannya.
            Dengan perasaan tergesa gesa aku membuka lembar demi lembar foto berukuran 5×3 itu. Namun wajahku sendiri kupasangi wajah terkejut, ternyata dia sudah menjadi lelaki dewasa, dia berpakaian pasien, pakaian yang berwarna biru pucat menempel dibadannya. Sementara seseorang berdiri disampingnya, laki laki yang kira-kira seumuran dengannya. Laki laki itu wajahnya dibungkus perban, mulut, matanya dan bagian belakang kepalanya tertutup kain putih itu. Dia berdiri bersangga pada tiang yang menggantung selang infusnya, sepertinya dia sudah mengalami kecelakaan.
            “Ibu.. i..ini kak Iyat?” tanyaku dengan nada berat. Aku menunjuk lelaki yang tengah berbaring.
            Ibu tersenyum lagi. Aku anggap itu menandakan ‘Iya’.
            Aku memperhatikan mata orang yang berdiri disamping tempat tidur kak Iyat’, sepertinya aku mengenalnya. Mata yang aneh. Aku mengenalnya!
            “Dia ini siapa..? Ibu..?” tanyaku lagi, menunjuk ke arah lelaki itu. Entah kenapa aku lebih penasaran pada lelaki itu dibanding dengan kakak tiriku sendiri.
            Ibu tersenyum untuk kesekian kalinya dan dia mengangkat kedua bahunya.
            “Ibu kira kau cukup mengenalnya.. dia bahkan satu sekolah denganmu..! apa kau tidak tahu??” jelas ibu.
            “Sepertinya aku tahu mata itu..!?” kataku. “Dia mirip Aditya!!! Malaikatku!!! Tunggu dulu..! apa benar dia Aditya??” tanya saketika aku menyadari bahwa dia lelaki itu mirip dengan orang yang mungkin kusuka.
            “Aditya?? Malaikatmu??” tanya ibu yang mungkin tidak untuk dijawab. “Apa kau menyukainya???”
            “Mungkin!!” aku tersenyum lalu mengankat bahu.
            Ibu berdiri, menepuk bahuku dan tersenyum lalu lekas pergi.
Aku menjadi tidak bisa tidur memikirkan Aditya lagi, aku benar benar bahagia walau hanya memikirkannya. Semakin tubuhku bergetar memikirkan kejadian disekolah tadi aku semakin menikmatinya.
Beruntungnya aku. Jatuh kepelukan cowok terkeren disekolah, meski agak sedikit kasar padaku, tak apa! Aku tetap bahagia.
Aku rasanya tidak sabar untuk pergi kesekolah besok pagi. Tak sabar menjadi penguntit. Sungguh! Dia mengalihkan duniaku, membuatku mempunyai gairah melanjutkan hidup.