Novel : Our Loves By Nur Nur
--- Bab 1 ---
Sang Malaikat
Aku berjalan, menggerutu, menyumpahi diriku sendiri. Aku
sangat menyesal memilih sekolah ini sebagai tempat menimba ilmu. Bagaimana
tidak? Peraturan untuk siswa sangat ketat sekali, bukan lagi biaya
per-semesternya teramat mahal. Bagi
siswa yang orang tuanya hanya pegawai swasta sepertiku tentu itu sebuah beban
besar, namun ayahku mendesakku sekolah disini, meski harus berdebat keras
dengan ibuku.
Kakak
kelas disinipun sudah lebih seperti kakak tiri, membentak, memperbudak, bahkan
mengolok olok siswa baru sepertiku.
Aku berjalan menyeret sapu ijuk yang ada ditanganku.
Sekolah ini sangat membosankan, membuatku merasa seperti didalam penjara setiap
harinya. Tak ada apapun yang membuatku semangat.
“Eh!! Kalau jalan
lihat lihat dong!!” bentak seorang kakak kelas perempuan yang tak sengaja
kutabrak. “Punya mata nggak sih!!?”.
“Punya!! Kakak nggak lihat!?” jawabku tak kalah
sengitnya.
“Itu bukan pertanyaan!! Jangan dijawab!!!” jawabanku
membuatnya semakin marah.
Dia menyuruhku memungut sampah yang ada di got kecil
didepan koridor sekolah. Dengan berat hati dan muka masam aku menurutinya.
Sekali lagi aku memarahi diriku sendiri. Kenapa aku tidak ikut perintah ibu!
Sekolah di sekolah negeri, gratis dan bebas.
Aku hanya mengaduk ngaduk sampah yang ada didepanku, aku
berjongkok dan memegang satu sapu lidi. Kakak kelas tadi sudah tidak
mengawasiku. Dia telah pergi.
Aku berfikir keras, hal apa yang akan membuatku betah
bersekolah disini? Kemudian terlintas difikiranku. Seorang pria tampan, manis, atletis dan sempurna. Dia adalah
seorang atlet bulutangkis kesukaanku.
Aku berandai andai, jika saja ada orang yang seperti itu disekolah ini. Aku tak
akan pernah melepaskan pandanganku darinya.
Berkhayal telah membuatku lupa tentang waktu, aku
memungut sampah yang telah kukumpulkan, aku berdiri dan bersiap melangkah
keatas lantai koridor, namun aku menabrak seseorang lagi yang sedang berjalan.
Dia menatap padaku, dia juga memegang kedua bahuku
memastikanku tidak jatuh karena menabraknya.
Matanya senduh, namun terkesan tajam, sosok yang mampu
membuatku merasa aman hanya dengan dia memegang bahuku. Dia juga tampan.
Auranya aneh.
Dia masih menatapku yang menatapnya. Aku hanya menatapnya
dalam dan lebih dalam lagi. Saat aku tersadar dari lamunanku satu hal yang
kulakukan sebelum ia melepaskan pegangannya. Namanya!. Aku harus mencari
Namanya.
ADITYA WIRMAN. Namanya ADITYA WIRMAN. Aku sempat
menggumam dan menyebut namanya hingga kemudian dia melepaskanku. Dia pergi
tanpa mengucapkan sepatah katapun. Aku menatap bahunya dari belakang, langsung
merasa terbiasa.
Aneh! Aku merasa namanya tidak asing lagi ditelingaku.
Meski samar samar aku masih ingat betul ada seseorang dikeluargaku memakai nama
yang sama. Namun anehnya lagi itu hanya perasaanku.
***
“Aku pulang!!” teriakku.
“Oh kau sudah pulang! Ganti baju dan segera makan!!”
jawab ibu dari arah dapur. Seperti biasa yang menjawab adalah ibu, bukan ayah.
Karena ayah pulangnya jam 9 malam. Dan ibu adalah satu satunya orang yang ada dirumah
saat aku pergi sekolah.
Aku berjalan kearah ibu, dan melihatnya mempersiapkan
masakan untukku. Ibu memakai celemek berwarna orange. Wajahnya tampak lelah dan
dia tersenyum padaku.
“Biar aku bantu..” tawarku langsung mengambil satu
mangkok besar berniat mengisinya dengan sayur yang telah ditumis ibu. Namun ia
segera menahan tanganku, mencegah aku sebelum aku mengotori baju seragamku
sendiri. Dia tersenyum lagi padaku, namun senyumnya itu mungkin berarti “Jangan
Nakal”. Aku memang selalu diperlakukannya seperti anak kecil.
“Cepat ganti baju..! ibu mau ketemu Iyat..” pintanya
sekali lagi.
“Loh! Iyat Ibu? Ada apa dengan Iyat?” tanyaku tak
memperdulikan perintahnya, dia juga seperti tidak mempermasalahkannya.
“Dia katanya jatuh dari motor.. jadi neneknya telepon ibu
untuk datang kerumah sakit..” jelasnya dengan tenang.
“Loh! Ibu kok! Tidak langsung kesana?” tanyaku panik.
“Lagian neneknya nelpon pas ibu lagi masak, jadi ibu
nuggu sampai kamu pulang aja”. Ibu melepas celemek dan masuk kekamar, tanpa ada
penjelasan lebih lanjut.
Aku juga melangkah masuk kedalam kamarku, melepas
seragamku dan ingin cepat cepat mengguyur tubuhku dengan air dibawah shower.
Didalam kamar mandi, kudengar ibu berteriak bahwa ia akan
pergi dan menyuruhku menyampaikannya pada ayah. Aku tak menjawab, ibu juga
segera pergi. Dalam guyuran air dari atas terlintas difikiranku siswa yang
kutabrak. Aku memikirkannya. Bahkan setelah aku selesai mandi dan memakai
pakaian aku masih memikirkannya.
Sekali lagi
untuk kesekian kalinya, mata sendu tapi tajam itu menelusup tiba tiba kedalam
fikiranku. Aku juga senyum senyum sendiri. Aku
kembali memikirkan Aditya Wirman.
Sayang sekali hanya namanya yang kuketahui.
Sebelum lamunanku tambah jauh, aku melangkahkan kakiku
meninggalkan kamarku, kuputar kenop pintu, dan menatap sebentar keluar sebelum
tubuhku benar benar keluar kamar. Tercium bau yang sangat sedap. Perutku
langsung keroncongan, sejak pulang sekolah aku memang belum memakan apapun,
makanan yang telah disiapkan ibu juga belum kumakan. Ini sudah malam, jarum jam pendek tepat menunjuk angka 8.
Tandanya sudah jam 8 malam.
Aku mengikuti arah bau itu. Menuju dapur yang
disampingnya ada meja makan, disana kulihat ayah sedang membuka tutup mangkok
plastik yang berwarna pink, asap tipis langsung menyembur dari arah makanan
itu. Aku langsung meluncur menuju ayah.
Dugaanku benar, setelah melihat isi mangkok itu. Sup
daging sapi dengan kuah kental!. Ayah kaget aku langsung muncul dibelakangknya.
“Apa kau belum makan?” ayah bertanya dan mengaduk ngaduk
sup kental itu. Perasaanku makin menggila, ingin segera kulahap sup itu. Dengan
cepat aku langsung mengangguk dan mulai memasukkan sendok demi sendok kedalam
mulutku. Ayah memperingatkanku untuk makan pelan pelan meski tidak
kuperdulikan.
Aku tak berhenti melahap supku hingga tenggorokanku
seperti diganjal sepotong besar daging sapi, membuatku tersedak, mataku memerah
dan aku terbatuk. Ayah yang melihatku terbahak kemudian dia menepuk nepuk
pundakku hingga semua daging itu kumuntahkan kembali keluar dari mulutku.
Dari arah pintu depan terdengar suara ibu memberi salam,
ayah segera keluar dan aku mengikutinya.
“Bagaimana dengan Iyat? Dia nggak apa apa kan?” tanya
ayah dengan khawatir.
“Dia baik saja, Cuma agak cedera saja..” jawab ibu santai
namun sedikit lelah.
“Seharusnya ibu mengajaknya kesini!” sambarku. Aku memang
selalu memimpikan Iyat tinggal disini denganku. Aku ingin punya kakak.
“Ibu juga sudah mencoba mengajaknya, tapi dia.. tetap
kekeh..”.
***
Aku berangkat kesekolah, pakaian putih lengan panjang dengan rok biru muda menempel pas ditubuhku. Aku selalu pergi
kesekolah dengan diantar ayah. Aku datang tepat jam 6 tigapuluh, sudah cukup
banyak siswa yang datang. Mataku mencari seseorang namun sejauh mataku memandang
aku tak menemukan sosok yang kucari, malah mataku berpapasan dengan mata lain
yang berbinar memanggilku di koridor sana. Akupun berlari kesana, meninggalkan
ayah yang siap melanjutkan perjalanannya.
“Haii.. Din!!” sapaku ke perempuan kurus bermata lebar
yang tadi memandangku. “Dan hai.. Dila!” sapaku keperempuan disebelahnya, dia
agak pendek dan tubuhnya gempal.
“Haii.. kamu kok dari tadi aku panggil nggak jawab jawab
sih!” kata Dini.
“Iya! Sampai sampai urat leher Dini mau copot!! Hahaha!!”
tukas Dila. Aku hanya ikut mereka tertawa dan kami berjalan menuju kelas kami.
Mereka memang teman sekelasku, Dini sikurus lebih cerewet
dan suka keceplosan sementara Dila, dia nggak pemalu, dia bisa mengeluarkan
kata kata seenaknya dan dia sedikit tomboy, meski pacarnya banyak, mungkin
karena wajah Dila memang cantik.
Aku kembali mencari Aditya Wirman dalam perjalananku
menuju kelas. Namun aku tetap tak menemukannya bahkan sampai jam terakhir
disekolah aku tetap tak menemukannya. Aku bahkan berfikir mungkin Aditya Wirman
hanyalah pria khayalanku saja.
Bahkan setelah seminggu Aditya Wirman juga belum aku
lihat disekolah. Kini aku berfikir dia benar benar buah dari kejenuhanku
disekolah sehingga tanpa aku sadari aku menciptakan seorang pria khayalan yang
sesuai dengan tipe priaku.
Ibu juga masih sering mengunjungi kak Iyat’ akhir akhir
ini. Aku pernah ikut sekali dan katanya Iyat’ tak mau melihatku. Saudara
tirinya. Aku tak marah, aku memakluminya. Tapi aku tetap berharap suatu saat
nanti dia benar benar menjadi kakakku. Tempatku menvurahkan segala perasaanku.
Namun entahlah itu akan menjadi nyata atau hanya mimpi mimpiku.
***
Sudah agak siang waktu itu, saat aku dan Dila berjalan
menuju kantin sekolah. Dan ajaibnya aku melihatnya. Melihat Pria khayalanku. Dia
berjalan dijalur yang sama denganku namun arah yang berbeda.
Dia berjalan sendirian, berjalan diantara banyaknya siswa
siswa lain. Auranya begitu hebat, mataku bahkan melihat seperti ada cahaya yang
begitu menyilaukan terpancar darinya. Aku hanya menatapnya, menatap keseluruhan
dirinya. Mulai dari rambutnya yang bergaya masa kini namun warnanya hitam
lekat, matanya yang aneh menurutku, agak sipit namun terkesan sendu. Hidunya
yang mancung. Bibirnya yang tipis terbelah berwarna pink gelap, kulitnya yang sawo
matang dan badannya yang ideal.
Entah orang tua seperti apa yang telah menghasilkan anak
yang sudah seperti malaikat. Meski aku belum melihat malaikat, aku yakin dia
lebih daripada Malaikat.
“Hey!! Kau hampir menabrak Adit!!” bentak Dila
membangunkan lamunanku. Tanganku digenggam erat oleh tangan yang hangat dan
lembut. Tubuhku setengah berdiri dipengangi seorang laki laki. Aku menatap laki
laki itu, dan seketika tubuhku seperti merasakn aliran listrik yang aneh.
Membuat jantungku berdebar lebih cepat dari biasanya.
‘Aditya Wirman!! Aku tak akan melepaskannya! Tak akan
pernah!!’ batinku berseru. Membiarkan tubuhku bergetar dipelukannya,
digenggaman tangannya. Dia melepaskanku dengan kasar, mendorong tubuhku kearah
Dila.
“Kurasa.. aku sudah menabraknya..” gumamku diiringi
senyuman menatap Dila, tubuhnya yang gempal cocok untuk dijadikan sandaran.
Kini gilaran Dila yang mendorongku.
Aku hanya tersenyum dan kemudian mencari sosok Adit di
sekitarku. Namun dia tidak ada lagi. ‘Secepat itukah dia pergi?’ aku bertanya
pada diriku sendiri.
Aku kembali hanya melihat punggungnya dari belakang, dia
sudah agak jauh dari pandangan. Langkah kakinya yang panjang dan tenang
membuatnya berlalu dengan cepat. Aku masih menatapnya saat Dila menarik paksa
tanganku menuju kantin sekolah.
Dikantin sudah ada Si Kurus Dini dengan teman teman
kelasku yang lain. Mereka makan dan berkata kata bersama. Dini melihat aku dan
Dila dan segera memberikan tempat duduk untuk kami.
Sepiring nasi beserta lauknya, sebotol air mineral, sudah
ada didepanku. Namun aku tak memakannya bahkan pandanganku menatap kearah yang
lain. Aku masih memikirkan kejadian tadi, dan aku masih memikirkan ternyata dia
bukan pria khayalanku. Dia nyata!. Setiap aku memikirkan kejadian yang lucu dan
luar biasa tadi aku semakin bergetar.
‘Siapa sebenarnya Aditya Wirman!’ yang jadi pertanyaannya
adalah itu. Siapa dia? Aku mungkin sudah menyukainya. Tapi bahkan alamatnya
saja tidak aku ketahui, bukan lagi apa dia nakal atau tidak, dia jahat atau
baik. Dan masih banya pertanyaan yang lain.
Aku tersenyum menatap Dila. Dan tiba tiba aku teringat
bentakannya. “Hey!! Kau hampir menabrak Adit!!”. Dila menyebut nama ‘Adit’.
Setidaknya pasti dia kenal Aditya.
“Dil..! dil! Dila!!” panggilku sembari mengguncang tubuhnya.
Alhasil bakso yang hendak ia lahap terjatuh. Dia menatapku dengan kesal. Aku
hanya nyengir.
“Ada apa?” tanyanya kesal.
“Kamu tahu yang tadi aku tabrak!” tanyaku antusias.
“Ehmm!” dila sepertinya berfikir. “Ohh!! Adit? Kenapa
emangnya?” tanyanya santai.
“Oh! Adit!! Aditya Wirman bukan?” timpal Alma, salah satu
teman kelasku juga.
“Kamu kenal!!??” tanyaku penasaran pada Alma.
“Yaa Iyalaah!! Emang kamu nggak kenal? Uhh sayang
banget!!” Alma mengeluh padaku. “Dia itu cowok populer kali disekolah ini!!”
sambungnya.
‘Populer?’ aku bahkan tidak mengetahuinya.
“Memangnya kenapa? Kamu tertarik sama Adit?” tanya Dila
dengan nada sinis.
“Ter.. ter.. tertariik!!” pekikikku. “Bagaimana bisa aku
terarik pada orang yang kasar seperti itu!!! Dia bahkan tak bersikap lembut
pada seorang perempuann!!” kataku mengelak dengan nada tinggi.
“Oh..!! jadi kau tidak menyukainya....?” tanya Dila. Aku
tidak menjawab, tapi aku hanya mengangkat bahuku.
“Adit itu orangnya nakal, suka bolos tapi dia itu lumayan
pintar..” akhirnya Dila memberi jawaban.
“Adit juga hanya satu kali berpacaran...” sambung Alma.
“Nakal.. Suka bolos.. lumayan pintar....” ulangku sambil
agak berfikir. “Dan hanya satu kali berpacaran...” sambungku. “Kenapa kalian
tahu banyak tentang Adit???” tanyaku dengan nada tajam.
“Tentu saja Dila banyak tahu.. diakan mantannya.....”
jawab Alma yang mulutnya langsung disumpal tangan Dila.
“Apaaaa!!!!!” kali ini aku berteriak. Semua yang ada
dikantin menatapku.
“Kau salah paham.. dia mantannya Alma juga kok!! Bahkan
dia juga mantan kamuu!!” elak Dila.
“Mantan Alma? Mantanku??” tanyaku keheranan.
“Yahh!! Dia mantan kamu juga kokk!!” jawab Dila kekeh.
Aku semakin tidak
mengerti apa yang Dila katakan.
“Ahh!! Iya...! jadi maksudku.. Adit itu mantan teman satu
sekolahmu dan juga mantan teman sekolahku dan Alma..” jelas Dila.
‘Aku satu sekolah dulu..?’ aku bahkan baru kali ini
melihatnya
Kemudian aku, Dila dan Alma merasa ada hal yang aneh.
Kemana burung ‘beo’ itu? Aku menatap Dila dan Alma. Kemudian kami bertiga
lanjut menatap Dini, si burung ‘beo’ kami yang selalu pintar bicara dan menyela
setiap kami bicara, dan sekarang dia nampak sedang senyum senyum sendiri,
menjadikan tangannya sebagai sandaran dagunya di meja kantin. Aku, Dila dan
Alma mengikuti arah pandangan Dini. Kemudian mata kami sampai di sekumpulan
siswa kelas X.
Mereka sudah termasuk siswa nakal, bahkan belum cukup tiga bulan kami
bersekolah disini dan masing-masing dari mereka sudah mengoleksi lebih dan
sepuluh pelanggaran. Aku penasaran, apa diantara siswa siswa itu ada yang
disukai Dini.
Dan anehnya ada sepasang mata tajam yang sedang menatapku
diantara siswa siswa nakal itu dan sialnya dia adalah ketua genk yang mereka
namai ‘RED DEVIL’ dari nama genknya saja sudah menggambarkan karakter anggota
anggotanya.
Karena risih selalu ditatapi aku menyembunyikan wajah dan
tubuhku pada tubuh kurus Dini yang ada disampingku, kebetulan dia yang paling
dekat dengan arah keluar kantin.
“Dia menatapku!!!” teriak Dini. “Cowok keren itu!!! Jason
menatapku!!! Aku benar benar malu..! namun senang..!!!” lanjutnya dengan nada
yang sama.
Alma
dan Dila menatap lekat lekat Dini, sementara aku bersyukur se-syukur-syukurnya.
Ternyata aku hanya salah sangka, yang Jason tatap itu bukan aku tapi Dini yang
ada didepanku.
“Heyy!!
Apa kau menyukainya??” Tanya Dila sengit.
“Ya..
iya lahh!! Dia itu keren, ganteng dan kaya..!!” jawab Dini berbinar, ada banyak
hal yang ia sebut tentang Jason dan entah kenapa ia melupakan satu hal
terpenting.
“Dan
juga yang paling nakal diantara semua siswa tahun pertama!” timpalku.
Aku
membuat Dini
berhenti membanggakan Jason.
“Kenapa?
Dila saja rata rata cowoknya anggota genk!! Dan aku mungkin saja jadi pacar
ketua genk!!” jawab Dini. “Apa kau tidak menyukainya? Aduh sayang sekali..!!”.
Dini sudah seperti tahu
jawaban apa yang akan aku berikan padanya.
“Ehh!
Ehh! Eeeehhh! Jangan sangkut pautkan aku dong!” kata Dila dengan nada marah.
“Udah...
udah..! Jangan berdebat..!!” kata Alma menengahi.
Kami
berempat berjalan menuju kelas. Dini dan Dila bahkan masih sempat berdebat.
***
Malam ini ibuku ingin memperlihatkan beberapa foto Iyat’
selama dirumah sakit. Aku sangat senang. Iyat’ tak pernah ingin difoto
sebelumnya, bahkan sekalipun tak pernah.
Ibuku sering memperlihatkan foto-fotoku pada kak Iyat. Mungkin kak Iyat
tak pernah ingin melihat fotoku.
Aku masih tidur melamun sebelum seseorang mengetuk pintu
kamarku dari luar. Aku yakin dia pasti ibu. Kemudian kenop pintuku seakan
terputar sendiri, pintu kamarku terbuka sedikit demi sedikit, kemudia seorang
wanita paruh baya melangkah masuk kamarku. Wajahnya benar benar lembut. Dia
berjalan santai kearahku dan menggenggam beberapa lembar foto. Kata orang meski
ibu bukan ibu kandungku aku benar benar mirip ibu.
Aku langsung membangunkan tubuhku dengan cepat. Seolah
tak sabar melihat perubahan wajah kak Iyat, yang terakhir kali aku lihat
sekitar 7 tahun yang lalu. Waktu itu wajahnya benar benar innocent. Lucu!
apalagi ekspresi muka kesalnya. Aku menjadi sangat penasaran bagaimana dia
sekarang?.
Ibu duduk disampingku, dia mendesah pelan dan kemudian
tersenyum. Aku tak sabar dan langsung menyambar foto foto itu dari tangannya.
Dengan perasaan tergesa gesa aku membuka lembar demi
lembar foto berukuran 5×3 itu. Namun wajahku sendiri kupasangi wajah terkejut,
ternyata dia sudah menjadi lelaki dewasa, dia berpakaian pasien, pakaian yang
berwarna biru pucat menempel dibadannya. Sementara seseorang berdiri
disampingnya, laki laki yang kira-kira seumuran dengannya. Laki laki itu
wajahnya dibungkus perban, mulut, matanya dan bagian belakang kepalanya
tertutup kain putih itu. Dia berdiri bersangga pada tiang yang menggantung
selang infusnya, sepertinya dia sudah mengalami kecelakaan.
“Ibu.. i..ini kak Iyat?” tanyaku dengan nada berat. Aku
menunjuk lelaki yang tengah berbaring.
Ibu tersenyum lagi. Aku anggap itu menandakan ‘Iya’.
Aku memperhatikan mata orang yang berdiri disamping
tempat tidur kak Iyat’, sepertinya aku mengenalnya. Mata yang aneh. Aku
mengenalnya!
“Dia ini siapa..? Ibu..?” tanyaku lagi, menunjuk ke arah
lelaki itu. Entah kenapa aku lebih penasaran pada lelaki itu dibanding dengan
kakak tiriku sendiri.
Ibu tersenyum untuk kesekian kalinya dan dia mengangkat
kedua bahunya.
“Ibu kira kau cukup mengenalnya.. dia bahkan satu sekolah
denganmu..! apa kau tidak tahu??” jelas ibu.
“Sepertinya aku tahu mata itu..!?” kataku. “Dia mirip
Aditya!!! Malaikatku!!! Tunggu dulu..! apa benar dia Aditya??” tanya saketika
aku menyadari bahwa dia lelaki itu mirip dengan orang yang mungkin kusuka.
“Aditya?? Malaikatmu??” tanya ibu yang mungkin tidak
untuk dijawab. “Apa kau menyukainya???”
“Mungkin!!” aku tersenyum lalu mengankat bahu.
Ibu berdiri, menepuk bahuku dan tersenyum lalu lekas
pergi.
Aku menjadi tidak bisa
tidur memikirkan Aditya lagi, aku benar benar bahagia walau hanya
memikirkannya. Semakin tubuhku bergetar memikirkan kejadian disekolah tadi aku
semakin menikmatinya.
Beruntungnya aku. Jatuh
kepelukan cowok terkeren disekolah, meski agak sedikit kasar padaku, tak apa!
Aku tetap bahagia.
Aku rasanya tidak sabar
untuk pergi kesekolah besok pagi. Tak sabar menjadi penguntit. Sungguh! Dia
mengalihkan duniaku, membuatku mempunyai gairah melanjutkan hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar